Senandika

Entahlah, aku tak punya nama untuk perasaan ini. Aku tak menunggu, tak menanti, apalagi berharap. Ini adalah sebuah bingkai tanpa foto, pintu tanpa rumah, pun kasih tanpa kisah. 

Aku sudah sekata dengan diriku, bahwa kita bisa berkasih tanpa kasih, berkisah tanpa kisah, dan berkata tanpa kata. Ini bagian dari kisah kasih tak bertuan. 

Kau ambil andil dalam perjalananku, sebagai objek, bukan subjek. Aku melihatmu sebagai cerita dalam sekian langkah. Dan kau punya segunung cerita yang menggambarkan langkahku. 

Namun, di tengah kaki yang melangkah, aku menyadari bahwa tidak semua cerita harus berakhir dalam sebuah ucapan. Ada kisah-kisah yang lebih indah kala dibiarkan bernapas di dalam keheningan memori. 

Sehingga, segala cerita tentangmu aku simpan dengan rapat agar ia tak menjelma suara. Sebab sekali ia terucap, aku yakin ia kan berkelana dan kehilangan jati dirinya. Maka cukup cerita itu terlelap, biar dunia cerita itu tetap terjaga dalam selimut malam. 

Di tengah keheningan malam, hatiku tergelitik oleh pertanyaan yang tiba-tiba muncul, 'mungkinkah selama ini aku bukan sekedar menyembunyikan cerita, melainkan perasaan yang bersembunyi dalam wajah cerita?'

Pertanyaan ini membuka mataku bahwa selama ini aku begitu sibuk menyangkal segala bentuk perasaan hingga membuatku merias roman perasaan dengan cerita. Perlahan-lahan aku mulai menyadari betapa aku membenci segala hal yang bergandeng dengan perasaan. Dan itu membuatku sulit untuk mengakui setiap jejak rasa yang menggerogotiku. 

Andai aku sedikit berbaik hati pada perasaan, langkahku pasti sedikit lebih ringan, sebab Tuhan menghadirkan rasa bukan untuk disembunyikan, tetapi untuk kita rangkul. Merangkul rasa bukan berarti harus diumbar atau dipaksakan, tetapi cukup untuk diterima.

Lagi pula menyangkal atau menyembunyikan hanya membuat perasaan itu semakin meronta, sehingga aku lebih memilih untuk berdamai, berteman, dan merangkul perasaan tersebut. Sebab ia adalah bagian dari cerita kehidupanku.

Dan langkah ini membawaku pada titik kesadaran bahwa hidup tak selalu tentang apa yang kita mau, tapi apa yang Tuhan inginkan. Dan aku yakin bahwa setiap pilihan Tuhan adalah pilihan terbaik. Hal ini meninggalkan kesan bahwa tak semua pertanyaan butuh jawaban, begitu juga dengan rasa, bahwa rasa hadir cukup untuk dirasakan tanpa harus dimiliki. 

Lagi-lagi ini menyadarkan aku bahwa Tuhan tidak meminta kita untuk mencari arti di setiap langkah kehidupan, tapi cukup percaya bahwa Tuhan selalu memiliki makna dalam setiap takdir. Sebab, di ujung langkah, ini bukan tentang menutup kemungkinan, tetapi lebih untuk menutup kemungkaran. 

Tak perlu terburu-buru, segala sesuatu sudah ada waktunya. Tak perlu memaksa, sebab itu hanya membawa lelah. Nikmati setiap suguhan yang Tuhan suguhkan. Tak perlu melihat sekeliling yang membuat kita masuk dalam jalur perlombaan. Tuhan menghadirkan kehidupan ini bukan untuk ajang perlombaan. Melainkan sebuah jalan muhasabah untuk menjadi lebih baik di setiap langkah yang kita toreh. 

Kini aku tak lagi merasa harus mengejar jawaban atau membuktikan sesuatu. Sebab perjalanan ini bukan tentang mencapai garis akhir, tetapi tentang memahami makna setiap langkah. Dan akhirnya, aku menyadari bahwa tak semua perasaan butuh nama, seperti tak semua pertanyaan butuh jawaban. 

0 Comments