Riwayat Manis; Ia dan Rembulan

 


Malam jatuh. Bulan terbuka dalam gelap, menyoroti sosok yang menangis di bawah langit. Ataukah tertawa? Ia dalam pelukan waktu. Ia punya dua sisi wajah, ia yang menangis, pun ia yang tertawa. 

Siapa yang tahu soal ia, yang menangis dan tertawa di bawah langit dalam sorotan roman rembulan, pun pelukan waktu. Ia satu tanpa kesendirian. Pun sendiri dalam kesatuan. Ia sepertinya telah melangkah begitu jauh. 

Menatap apa yang tak ingin ditatap, mengucap apa yang tak ingin terucap, melangkah pada apa yang tak ingin dilangkahi. Kini ia bersama semesta. Tiada lagi sayap-sayap yang menghakimi. 

Itu malang. Namun, ia berkata alangkah menarik ketika tiada malang yang mengambil alih arti hidup. Semua hanya tentang di mana kita menempatkan pandangan. Dan itu akan menjadi riwayat manis. 

Sebab kita hidup di bawah titah waktu. Jadi, sering kulihat ia pergi membuang senyuman pada waktu. Kaki kita terikat pada kaki waktu. Jadi, sering kulihat ia melempar sesembahan di kaki waktu. Oh waktu yang suci, ia pun terhina. Sang waktu. 

Orang-orang mengumpat, sedang singgasana waktu menatap. Sungguh, berdoalah untuk napasmu. Ia tak sendirian di dalam titah waktu. Jaga tawamu. Waktu pun punya cara tuk mengumpat dengan anggun. 

Kurasa dalam sesaat riwayat ini kan temu usai. Kini malam telah bangun. Sang pertiwi telah menyibakan selimut menyapa semesta. Tawa dan tangis telah luput dalam suara yang melagukan riwayat ini. Jadi, kulihat ia yang beriman pelita tengah melangkah melagukan umpatan manis. 

0 Comments