Aku tersadar dari tidurku untuk kesekian kalinya. Mimpiku direnggut paksa agar aku tersadar. 'Selamat malam dunia,' ini bukan masa yang pas bagiku tuk membuka mata dan mengikat fokus. Ini terlalu cepat, sehingga membuatku teramat sigap. 'Sebelum semuanya terlambat,' aku mendengar suara dalam kepalaku. Yah, tak salah juga. Bisa jadi esok aku akan merasa sedikit pening.
Waktu masih menunjukkan pukul 00.01. berapa umurku? tidak, jam itu belum berumur selayaknya usiaku. Tanda waktu menyiratkan pukul dini hari, dan aku berumur pagi hari. Agaknya itu usia yang pas untuk sarapan, olahbudi, dan olahsukma. Ah, tapi ardi di dekatku masih terlampau dingin, hening. Hampa, tak ada siapapun. Sepertinya akan terasa penat jika aku bersikeras mencari sejawat di waktu seperti ini, dan bisa saja itu pun akan terasa dilematis bagi mereka demi menahan kantuk hanya untuk menemani diriku. Memangnya siapa diriku bagi mereka?
Aku tak punya tanggapan untuk perkara itu, siapa diriku bagi mereka? Aku tak sanggup menaksir aksara apa yang tergores dan disembunyikan jauh di dalam lubang-lubang sanubari yang bahkan tak bisa kutatap dengan mata telanjang. Mereka harus menelanjangi perasaan mereka terlebih dulu, biar aku sanggup menatap apa yang mereka kemas di balik jubah perasaan yang mereka kenakan. Namun, itu berarti langit akan semakin membiru di atas kepalaku. Biru, warna yang menggubah segalanya menjadi melelahkan.
Tapi kupikir biru itu akan tampak elok tatkala aku mengalihkan sedikit haluaan saat pikiranku melihat, mengamati, dan membaca dunia. Aku butuh dua mata, bukan sebelah mata agar tak ada bias. Aku butuh kesabaran, seiring waktu tiba bersama surat yang Semesta titipkan. Surat-surat itu akan membuatku semakin terjaga, mengelus dada, dan bersujud di bawah kaki Langit yang kaku.
Langit sungguh begitu kaku, fajar masih terlampau jauh dari ufuk timur, dan Langit tak memberi kerelaan agar fajar tiba sedikit lebih cepat. Aku agak kewalahan dengan kesendirian di sini, pintu-pintu masih terkunci rapat. Orang-orang itu sungguh! Mereka tak memberiku kunci pintu mereka, padahal kunci pintuku ada di tangan mereka, dijadikan cincin dan kalung.
Aku semestinya membuat pintu baru, nurani tengah tak damai. Orang-orang hidup kala meminta tanganku, tapi mati di sampingku persis ketika aku baru merenung untuk meminta tangan mereka. Pembual!
Waktuku akan tiba sesaat lagi, tak perlu kusut begitu, aku akan mengirimkan potret waktuku yang pernah kalian sumpahi. Sebelum semuanya terlambat.
0 Comments