![]() |
Wajah-wajah penuh kemenangan. Di
tengah hiruk piruk kegembiraan, satu hati terpojok di ujung jalan. Kejayaan bertengger
di atas tangannya, namun dalam tatapan yang hening, ia berulang kali berteman
kematian. Tak ada kehidupan di wajahnya. Orang yang tertawa telah merampasnya. Kini
ia hidup dalam wajah yang mati.
Orang itu menelan kehidupan di atas
kehidupan. Air mata adalah sumber penghidupan. Harapan tanpa dunia adalah lahan
kehidupan. Di tengah kesibukan langkah yang berlalu, ia menari mengangkat
tangan, memeluk setiap langkah yang tersesat. Namun pelukannya bukanlah kompas
kehidupan, melainkan pangkuan ajal. Sebuah akhir tuk menyambut penderitaan
baru.
‘Selamat’ ia lagukan tawa kemenganan untuk
kemunduran. Ia ambil sepatu-sepatu sebagai pengganti peluhnya. Ia menuntut
tepukan pada bahunya, pun tangis haru untuk dunia huru hara yang ia bangun. Dan
ia tersenyum sedang di bawah kakinya adalah lautan langkah yang merindu pulang. Langkah-langkah kelaparan yang memohon
sesuap sinar, namun terlanjur hilang dari napas kehidupan.
Ia ada di segala arah mata
memandang. Ia tak menyisakan sedikit pun waktu jika bukan untuk tangannya.
Napasnya adalah pusat semesta, begitu pikirnya. Dan segala langkah yang masuk
ke dalam orbitnya harus menjadi punggung kehidupannya. Ia menuntut kepatuhan,
menghisap napas mereka, tanpa menyisakan apa pun kecuali kehampaan.
Entah sel-sel apa yang sudah
merasuki pandangannya, jauh dalam napasnya ia hanyalah langkah tak bersepatu.
Ia adalah napas tanpa hembusan. Dan ia adalah dunia yang menutup diri dari
mentari. Ia terlalu lemah untuk sekedar membuka wajahnya. Sehingga tak heran
jika ia mencuri wajah semesta.
Namun tangannya telah berulang kali
menyulap kehidupan menjadi kematian. Menyisakan langkah-langkah yang hidup
dalam wajah yang mati.