Ichadiass
Ichadiass
  • Home
  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Sitemap
  • Contact Us

Kilas Balik dalam Langkah

Jejak Cupid

Goresan Sebelah Mata

Pinterest

Wajah-wajah penuh kemenangan. Di tengah hiruk piruk kegembiraan, satu hati terpojok di ujung jalan. Kejayaan bertengger di atas tangannya, namun dalam tatapan yang hening, ia berulang kali berteman kematian. Tak ada kehidupan di wajahnya. Orang yang tertawa telah merampasnya. Kini ia hidup dalam wajah yang mati.

Orang itu menelan kehidupan di atas kehidupan. Air mata adalah sumber penghidupan. Harapan tanpa dunia adalah lahan kehidupan. Di tengah kesibukan langkah yang berlalu, ia menari mengangkat tangan, memeluk setiap langkah yang tersesat. Namun pelukannya bukanlah kompas kehidupan, melainkan pangkuan ajal. Sebuah akhir tuk menyambut penderitaan baru.

 ‘Selamat’ ia lagukan tawa kemenganan untuk kemunduran. Ia ambil sepatu-sepatu sebagai pengganti peluhnya. Ia menuntut tepukan pada bahunya, pun tangis haru untuk dunia huru hara yang ia bangun. Dan ia tersenyum sedang di bawah kakinya adalah lautan langkah yang merindu  pulang. Langkah-langkah kelaparan yang memohon sesuap sinar, namun terlanjur hilang dari napas kehidupan.  

Ia ada di segala arah mata memandang. Ia tak menyisakan sedikit pun waktu jika bukan untuk tangannya. Napasnya adalah pusat semesta, begitu pikirnya. Dan segala langkah yang masuk ke dalam orbitnya harus menjadi punggung kehidupannya. Ia menuntut kepatuhan, menghisap napas mereka, tanpa menyisakan apa pun kecuali kehampaan.

Entah sel-sel apa yang sudah merasuki pandangannya, jauh dalam napasnya ia hanyalah langkah tak bersepatu. Ia adalah napas tanpa hembusan. Dan ia adalah dunia yang menutup diri dari mentari. Ia terlalu lemah untuk sekedar membuka wajahnya. Sehingga tak heran jika ia mencuri wajah semesta.

Namun tangannya telah berulang kali menyulap kehidupan menjadi kematian. Menyisakan langkah-langkah yang hidup dalam wajah yang mati.

Entahlah, aku tak punya nama untuk perasaan ini. Aku tak menunggu, tak menanti, apalagi berharap. Ini adalah sebuah bingkai tanpa foto, pintu tanpa rumah, pun kasih tanpa kisah. 

Aku sudah sekata dengan diriku, bahwa kita bisa berkasih tanpa kasih, berkisah tanpa kisah, dan berkata tanpa kata. Ini bagian dari kisah kasih tak bertuan. 

Kau ambil andil dalam perjalananku, sebagai objek, bukan subjek. Aku melihatmu sebagai cerita dalam sekian langkah. Dan kau punya segunung cerita yang menggambarkan langkahku. 

Namun, di tengah kaki yang melangkah, aku menyadari bahwa tidak semua cerita harus berakhir dalam sebuah ucapan. Ada kisah-kisah yang lebih indah kala dibiarkan bernapas di dalam keheningan memori. 

Sehingga, segala cerita tentangmu aku simpan dengan rapat agar ia tak menjelma suara. Sebab sekali ia terucap, aku yakin ia kan berkelana dan kehilangan jati dirinya. Maka cukup cerita itu terlelap, biar dunia cerita itu tetap terjaga dalam selimut malam. 

Di tengah keheningan malam, hatiku tergelitik oleh pertanyaan yang tiba-tiba muncul, 'mungkinkah selama ini aku bukan sekedar menyembunyikan cerita, melainkan perasaan yang bersembunyi dalam wajah cerita?'

Pertanyaan ini membuka mataku bahwa selama ini aku begitu sibuk menyangkal segala bentuk perasaan hingga membuatku merias roman perasaan dengan cerita. Perlahan-lahan aku mulai menyadari betapa aku membenci segala hal yang bergandeng dengan perasaan. Dan itu membuatku sulit untuk mengakui setiap jejak rasa yang menggerogotiku. 

Andai aku sedikit berbaik hati pada perasaan, langkahku pasti sedikit lebih ringan, sebab Tuhan menghadirkan rasa bukan untuk disembunyikan, tetapi untuk kita rangkul. Merangkul rasa bukan berarti harus diumbar atau dipaksakan, tetapi cukup untuk diterima.

Lagi pula menyangkal atau menyembunyikan hanya membuat perasaan itu semakin meronta, sehingga aku lebih memilih untuk berdamai, berteman, dan merangkul perasaan tersebut. Sebab ia adalah bagian dari cerita kehidupanku.

Dan langkah ini membawaku pada titik kesadaran bahwa hidup tak selalu tentang apa yang kita mau, tapi apa yang Tuhan inginkan. Dan aku yakin bahwa setiap pilihan Tuhan adalah pilihan terbaik. Hal ini meninggalkan kesan bahwa tak semua pertanyaan butuh jawaban, begitu juga dengan rasa, bahwa rasa hadir cukup untuk dirasakan tanpa harus dimiliki. 

Lagi-lagi ini menyadarkan aku bahwa Tuhan tidak meminta kita untuk mencari arti di setiap langkah kehidupan, tapi cukup percaya bahwa Tuhan selalu memiliki makna dalam setiap takdir. Sebab, di ujung langkah, ini bukan tentang menutup kemungkinan, tetapi lebih untuk menutup kemungkaran. 

Tak perlu terburu-buru, segala sesuatu sudah ada waktunya. Tak perlu memaksa, sebab itu hanya membawa lelah. Nikmati setiap suguhan yang Tuhan suguhkan. Tak perlu melihat sekeliling yang membuat kita masuk dalam jalur perlombaan. Tuhan menghadirkan kehidupan ini bukan untuk ajang perlombaan. Melainkan sebuah jalan muhasabah untuk menjadi lebih baik di setiap langkah yang kita toreh. 

Kini aku tak lagi merasa harus mengejar jawaban atau membuktikan sesuatu. Sebab perjalanan ini bukan tentang mencapai garis akhir, tetapi tentang memahami makna setiap langkah. Dan akhirnya, aku menyadari bahwa tak semua perasaan butuh nama, seperti tak semua pertanyaan butuh jawaban. 

Sekolah alam di Tli'u oleh komunitas NTT Peduli Cerdas 

Kalimat itu telah kehilangan napasnya, namun satu tetes darah menetes masuk di dalam raga kalimat itu. 


Apakah satu tetes darah cukup untuk membangkitkan raga yang telah mati? Padahal raga yang telah mati sejatinya masih memiliki darah yang bergejolak mencari oksigen. Hanya karena satu tetes darah  jatuh dari raga yang hidup, itu tak serta merta akan memberi hidup pula. Raga mati sebab ketiadaan napas, bukan darah. 


Raga kalimat itu, walau telah gugur, ia  masih memiliki berjuta sel darah yang merindu pada oksigen, namun apa daya, satu tetes darah tak cukup jika bukan datang dari tetesan darah Tuhan. Tuhan adalah segalanya. Segala sesuatu untuk segala yang tunggal dan jamak . Yang nampak dan tak nampak. Tuhan satu untuk berjuta napas dan darah. Dan Tuhan ada untuk segala ketiadaan. 


Tuhan adalah kunci segala jalan. Kunci segala raga yang kehilangan darah dan napas. Tuhan adalah setiap kalimat yang hidup, pun kalimat yang memberi hidup. Sebab itu, bagiku tak ada jalan lain selain melihat pada Tuhan. 


Satu tetes darah boleh saja merayu pada kehidupan yang layu. Boleh saja satu tetes darah menyalakan lampu harapan. Pun boleh saja berlagak layaknya pemberi kehidupan. Namun, ia tak bisa berkelak ketika Tuhan bersabda di atas nama takdir. Darah hanyalah darah. Ia menyokong hidup namun tak mendatangkan kehidupan. Ia bukan asal mula kehidupan, sebab hanya Tuhan satu-satunya pemilik awal dan akhir. 


Lantas, siapa dirimu yang berlagak memberi harapan selayak kau adalah  sumber harapan? Siapa dirimu yang menebar janji selayak kau pemilik catatan takdir kehidupan?


Jangan menutup mata. Kita boleh saja berencana, merancang setiap jalan kehidupan, membuka tangan untuk peminta yang berkeringat. Namun, jangan angkuh hingga lupa siapa dirimu. Kita berencana sedang Tuhan tertawa melihat keangkuhan rencana yang kita bangun. Kita boleh berlari membangun segala rencana, namun jangan lupakan Tuhan, sebab Ia pemilik gravitasi kehidupan.

 

Photo by Hendri Prestesp

Aku akan menanti hingga cerita kehilangan cerita.


Jati dirinya hilang oleh narasi kosong.

Jiwanya gugur oleh penokohan yang berputar.


Dan cerita kehilangan cerita. 


Hidup menjadi lumpuh. Kemampuan kehilangan empu. Harga diri tinggal angka.

Esok tak lagi ada wajah.


Tak lagi perlu menanti

hari,

harapan,

dan panjatan.


Sebab cerita telah kehilangan cerita. 


Aku bukan lagi aku.


Aku di dalam cerita adalah usai. Dan aku di luar cerita adalah upaya kosong.


Aku tinggal seonggok daging yang berjalan. Tak berperaisaan, tak berperiadilan, tak berpericerita. 


Haruskah kita hidup dengan cerita? Atau cerita yang hidup bersama kita?


Sebentar.

Biar aku ulangi.

Aku

ataukah kita? 


Cerita kehilangan cerita.

Pun wajah baru adalah usai.


Akan aku lagukan sisa cerita yang masih mengenal dirinya.


Tentang aku sebagai kita.

Tentang narasi dan penokohan.

Dan hari-hari yang tak akan pernah tiba.

 

Photo by Andrea Ucini on Behance

Jam berputar, berderu, 'waktu telah sampai di arah pukul 14 : 3.' Dunia membeku, kabut turun menyelimuti ruang waktu, membuka pintu dunia nol untuk langkah napas harapan. 

Waktu kehilangan jiwa, menyisakan raga waktu yang terkapar di arah pukul 14 : 3. Di sana, pada angka yang membeku, aku turut terjerat di dalamnya, bersama potongan-potongan kenangan tak bertuan.  

Terperangkap di dalam waktu yang berkalang tanah, udara adalah kegelapan, siang tinggal nama. Sepanjang mata memandang adalah malam yang tak berteman bintang dan rembulan. 

Aku mencoba bangkit dan membuang pandang jauh ke dalam malam, berusaha tuk memeluk kegelapan. Tiba-tiba sececah cahaya menusuk sudut hatiku. Napasku terbuka, mataku menyipit, mencoba mengenali malam dan kegelapan ini. 

Mendadak bayanganmu meledak di kedua pupilku, menyisakan debu kabut yang menusuk kesadaranku. Apakah kita masih ada? Aku melihatmu, mencoba bertumpu di antara celah kabut yang memenuhi penglihatanku. 

Adakah kita? Kita. Ya, kita, adalah aku dan kenangan. Bukan lagi aku dan dirimu. Ingin sekali aku menjatuhkan hukuman mati pada realita yang kuterima. Aku enggan memupuk hidup di atas piring fakta yang menyesakkan. Aku menginginkan oasisku. 

Kendatipun itu adalah fana, itu bukanlah pasal bagiku. Aku bahkan telah kehilangan bayanganku. Tak ada lagi yang kutakutkan, melainkan suguhan realita yang harus kulahap; tentang kita, adalah aku dan kenangan. Bukan lagi aku dan dirimu. 

Aku berlari di atas dunia yang beku, di dalam waktu yang mati. Berteriak pada semesta yang membisu. Menyerahkan semua emosiku, sehingga kau dapat kembali masuk ke dalam diriku; adalah kita. 

Di dalam siang, satu langkahku terbakar oleh sengatan terik. Di dalam malam, satu lagi langkahku membeku, diam tergeletak di atas taman kenangan. Kini aku hilang langkah. 

Jiwa yang haus kini harus meneguk gelas harapan yang penuh kebohongan. Kemana aku harus menatap?! sedang mataku telah melepaskan tatapannya untuk waktu yang telah mati. Aku tak punya langkah. Bahkan napasku kehilangan bayangannya. 

Kehidupan apa yang sebenarnya tengah aku lakoni? Aku hanya berusaha mendapatkan kepingan hidupku yang hilang. Namun, mengapa aku malah kehilangan kepingan lain dari hidupku? 

Apakah ini yang sering orang-orang katakan tentang berjudi dengan semesta? Kata orang, Tuhan tak bermain dadu, tapi mengapa napasku seakan-akan dikendalikan oleh angka dadu? 

Namun, kata mereka Tuhan tak bermain dadu?! Lantas, siapa gerangan yang tengah memainkan dadu di dalam hidupku?

Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • Harapan di Taman Bunga
  • Untukmu, Berhentilah...
  • Reminisensi
  • Riwayat Manis; Ia dan Rembulan
  • Sebelum Semuanya Terlambat

Categories

  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Puisi
Diberdayakan oleh Blogger

Laporkan Penyalahgunaan

Search This Blog

Blog Archive

  • Maret 2025 (1)
  • Februari 2025 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Juni 2023 (1)
  • Mei 2023 (1)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • Oktober 2022 (1)
  • September 2022 (2)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juli 2022 (1)
  • Juni 2022 (3)
  • April 2022 (1)
  • Maret 2022 (1)
  • Februari 2022 (2)
  • Januari 2022 (1)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (1)
  • September 2021 (3)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (5)
  • Juni 2021 (5)
  • Mei 2021 (2)

Social Plugin

Home Contact Us About Us Privacy Policy

Tentang Saya

Foto saya
Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang awam dalam banyak hal. Tidak sedang mengajari siapa-siapa. Hanya menumpahkan apa yang tak sempat diceritakan
Lihat profil lengkapku

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Translate

Copyright © Ichadiass. Designed by OddThemes