Untukmu, Berhentilah...

 


Bagaimana perasaanmu? Aku mendapatimu tengah berdiri menatap senjata yang selama ini kau sembunyikan dalam hatimu. Aku mendengar ledakan tangisan, tapi dari mana tangisan itu? Apa kau menyembunyikan tangisan di dalam hatimu juga? Oh, kutahu, pasti itu sulit bagimu. Sebab ini adalah yang pertama dalam sejarahmu. 

Kau sejauh ini berjas sejarah maha dewa. Aku yakin, kau pasti tak tahu rasanya mengenakan jas yang hampir kehilangan raganya. Dan itu wajar jika kini kau bertingkah menang padahal tengah berlutut. Dalam satu hentakan, ingin aku mengasihi juga menghajarimu. Oh, kasih, namamu telah pupus dalam radar permainan ini. 

Bukalah matamu. Menutup mata hanya semakin membutakan arah pengertian. Buka juga jas maha dewamu itu. Di hadapanku itu hanya semakin menegaskan bahwa kau tak sanggup menggenggam napas kehidupanmu. Aku tak terbuai oleh apa-apa yang kau kenakan, aku menatap lurus pada matamu. Bukalah matamu, dan pejamkan sementara mata-mata yang kau sisipkan di setiap sela raga dan mayamu. 

Bukalah matamu. Ini hanya permainan, bukan pertandingan. Tak ada kemenangan dan kekalahan di sini. Permainan ini hanya sekedar mengajakmu mengekspresikan dirimu, membuatmu berkembang dengan keberanian, dan membuatmu tertawa dengan tangan terbuka. Sekali lagi, tak ada menang dan kalah. Jika kau merasa menemukan menang dan kalah dalam permainan ini, maka itu hanya sekedar proyeksi dari dirimu. 

Bukalah matamu. Di sini semua orang berdiri dalam radar mereka. Tak ada satu atau berapapun orang yang berdiri dalam radarmu. Kau berdiri dalam radarmu. Kau, dan hanya dirimu. Begitu pun diriku juga mereka. Kami berdiri dalam radar yang kami miliki. Segala bentuk kedekatan ini hanya dalam artian raga yang berdiri dan jarak yang mempertegas keberadaan setiap orang. Maka berhentilah bersikap seakan kami berdiri dan hidup dalam radarmu. 

Bagaimana perasaanmu? Kau terlalu keras pada dirimu. Aku tahu bahwa jejak lalumu yang sebenarnya membawamu pada kiblat perasaan dan pemikiranmu. Namun, jejak lalu itu telah hilang ditelan pergerakan alam. Kau kini adalah dirimu yang sekarang, kau berdiri di atas ragamu, bukan jejak lalumu. Jejakmu itu tak berarti apa-apa, ia tak lain hanyalah petunjuk bahwa kau telah melangkah. Jejakmu tak hadir untuk menentukan siapa dirimu di masa kini. Siapa dirimu sekarang ada dalam pilihanmu sekarang. Bukan jejak lalumu. 

Sebenarnya tak masalah kau mengenakan jas maha dewa itu dan segala macam nama yang menghiasimu. Namun, peluk juga dirimu. Biarkan segala bentuk penghargaan itu memelukmu, bukan sebaliknya. Kau hidup untuk dirimu, bukan untuk penghargaan yang kau sembunyikan dalam hatimu. 

Dan untuk yang terakhir kalinya, di sini, kau tak menang juga tak kalah. 


0 Comments