Reminisensi

 

Jplenio/Pixabay

Aku menatap pada langit sore. Di sana, di ufuk barat aku melihatmu yang pergi bersama mentari meninggalkan bekas warna yang terekam di dalam kenangan. Kehangatan warna yang tertinggal seakan menjadi selimut dalam malam yang hadir membawa dingin, pun hembusan kenangan yang membeku. 

Aku melihat menembus langit malam. Berusaha menemukanmu yang mungkin bersembunyi di antara bintang-bintang yang bersinar. Di dalam pelukan malam, bersama melodi kesunyian yang menari, aku merasakan kehadiranmu. Kau hadir di tengah ruang hati, menyanyikan lagu-lagu kenangan yang merindu.  

Sejujurnya, setiap tarikan dan hembusan napasku adalah dirimu. Kau seakan berubah menjadi atmosfer dalam semestaku. Di setiap langkah kakiku, aku menanam pohon harapan; Mungkin di suatu langkah nanti adalah pintu untuk kehadiran sosokmu. 

Apakah kau pun menantikan langkah itu? Aku bertanya-tanya pada malam, mungkinkah aku satu satunya yang menjadi buta? Entahlah, satu-satunya yang kulihat adalah aku menikmati perjalanan ini. Aku bertanya-tanya seperti apakah wajah akhir dari pohon harapan yang kupupuk. 

Masih di dalam malam. Aku menatap dalam pada mataku di depan cermin. Di dalam mataku, aku masih menemukan sisa-sisa tatapanmu. Tatapan lembut yang menyisir awan keraguan di wajahku. Bahkan hingga kini saat ragamu tak lagi kutemukan, segalanya masih sama. Tak ada satupun keraguan maupun ketakutan yang berhasil mengisi kekosonganmu. 

0 Comments