Di waktu fajar surya hadir bersama kehangatan, dan aku menatap dari balik pintu. Di waktu malam rembulan hadir bersama mimpi, dan aku menatap dari balik pintu. Lalu, di waktu petang, tinggal kerinduan yang saling merindu. Dan aku menutup mata.
Segalanya adalah kekeliruan, walau ada damai dalam diam. Satu kekeliruan membuat kelu, walau masih ada damai.
Kita satu di bawah nama harapan, duduk menatap dari balik pintu. Ada kebisingan dalam diam, sebab kerinduan yang saling merindu. Sayang berat hati, ini tak boleh jadi muara.
Suaraku tertahan, sebab aku menahan. Kau ingat bukan, bahwa suaraku yang telah membuka pintu kehangatan kala fajar menyembul? Namun, kau malah menyiulkan kesangsian untukku. Lantas, mengapa aku membuka pintu?
Kita berpendar dalam permainan. Kau bersama wajah yang bersembunyi, sedang aku bersama wajah yang enggan dalam abu-abu. Dan di tengah ruang, ego membakar dupa membuka duka.
Kita sama-sama bermimpi untuk melangkah dalam kehangatan fajar. Aku melangkah untuk diriku, dan kau melangkah untuk dirimu. Padahal seharusnya tak begitu, bukan?
Hari ini aku bersama pagi, petang, dan malam, membayangi mimpi yang menunggu bayang binar kehangatan datang menjemput. Dan kesabaranku nyaris luruh.
Namun, aku berhenti sejenak, kembali membuka lembar pikiran. Aku riang bergerak di atas pasir harapanku, bukan pasir harapan orang-orang yang berujar, 'Ini yang terbaik untukmu.' Lantas, mungkinkah itu diriku?
0 Comments