Asmaraloka

 


Aku mendengarkan lagu itu berulang-ulang, pesan dari lagu itu pun secara beruntun terserap ke dalam perhatianku. 'Aku menyukaimu, tak ada alasan lain, karena aku menyukaimu.' Sepenggal bait dalam lagu 'Cause I Like You' itu telah melahirkan sebuah Kontradiksi.

Sejujurnya kau bukanlah sosok yang aku rindukan. Aku tak pernah sedikit pun memimpikan kehadiranmu dalam ruang pribadiku. Ini membingungkan. Kontradiksi, kata itu membayangiku hampir di setiap kelengahan napasku. 

Lagu itu tidak lagi terdengar. Aku tak tahu apa alasannya, mungkinkah frekuensi pemutaran yang berulang telah menutup nuansa dalam lagu itu sehingga perlahan-lahan lagu itu pun luput dari indraku? Entahlah, aku bahkan tak tahu siapa gerangan yang memutar lagu itu. 

'Tak ada satupun nuansa yang hilang, ia pergi sebab tujuan kehadirannya telah memberikan arti padamu. Kau telah menerima apa yang ingin ia berikan padamu.' 

Kata-kata tak bertuan. Kata-kata itu secara tiba-tiba bersuara di dalam benakku. Seakan memberi jawaban untuk mematahkan usaha perlawananku. Namun, kontradiksi, segalanya masih terasa sebagai suatu kontradiksi bagiku. 

Bagai perputaran siang dan malam yang selalu datang bergantian, begitu pun kisah ini. Lagu itu kini digantikan sebuah buku kesukaanku yang hadir di hadapanku. Aku mengambil buku itu, 'Manuskrip yang Ditemukan di Accra.' Aku membukanya secara acak dan tulisan itu muncul di hadapanku, 'Cinta adalah keyakinan, bukan pertukaran,' 'Kita mencintai karena kita butuh mencintai.' 

'Apa lagi yang kau inginkan?' suara itu kembali terdengar di dalam benakku. 

Seulas senyuman mengembang di wajahku. Tatapanku menerawang jauh ke dalam kabut di tengah perapian. 'Haruskah aku menertawai situasi ini?' Aku bertanya-tanya dalam benakku. Aku tahu, walaupun hati dan kepalaku pada akhirnya mendapat benang merah di tengah kontradiksi yang aku bangun tapi, apakah sesederhana itu akhir dari semua alur ini? 

Bukankah hidup memang seperti itu? Seakan ada yang memberi penerang di dalam kepalaku, momen eureka itu akhirnya kudapatkan. 'Bagaimana bisa aku melupakan hal itu?' Aku kembali membatin mempertanyakan kesadaranku. Hidup memang begitu adanya. Kehidupan adalah cerminan dari pemikiran, apa yang kau pikirkan maka itulah yang kehidupan berikan padamu.

Aku selalu percaya bahwa hidup adalah sebuah keajaiban, setiap detik yang berlalu selalu membawa keajaiban-keajaiban kecil maupun besar. Aku pun percaya bahwa hidup sebenarnya simpel, sederhana, pikiran kitalah yang membuat segalanya terasa rumit. 

Dalam perjalananku, kehidupan memberikan padaku apa-apa yang sejalan dengan kepercayaanku padanya. Aku tak lagi ingin memperumit segala hal. Dan untuk dirimu, kau adalah keajaiban kecil yang kehidupan berikan untukku. Walau dalam jalan yang kutempuh aku sempat melihatmu sebagai sebuah kontradiktif, tapi kini aku paham. Ego telah menyihir indraku agar luput dari suara kehidupan.

Kontradiksi itu hadir dari pemikiran yang kubangun. Ego pun turut campur memperumit kisah ini. Padahal segalanya begitu sederhana, seperti yang tertulis dalam tulisan Paulo Coelho dalam bukunya yang berjudul Manuskrip yang Ditemukan di Accra, 'Cinta adalah keyakinan, bukan pertukaran,' dan 'Kita mencintai karena kita butuh mencintai. Kalau tidak, cinta kehilangan seluruh maknanya dan matahari pun berhenti bersinar.'



0 Comments