Dia memonopoli segalanya. Ternyata semua ini masih berada dalam garis abu abu. Dan aku terjebak dalam dunia yang enggan berputar. Sebab aku terlampau sibuk mengamati setiap detail langkahku dan lupa tuk menoleh, menelaah markah Semesta. Kurasa aku kembali menjadi buta.
Di saat-saat ini, segala hal menjadi bias, segala fokus seperti tersesat dalam perjalanan ruang dan waktu, dan aku tergeletak mematung mendengarkan sumpah serapah. Entah siapa yang menyumpahiku yang kutahu semesta menertawai diriku.
"Ia telah kembali," langit berbisik padaku.
"Itukah dirimu yang tengah bersembunyi?" Aku bertanya dalam hati tak menanti jawaban.
Ah, ini sungguh melelahkan, aku berpaling pada langit berharap ia dapat beranjak menyibak kegelapan semesta. Setidaknya, agar kegelapan semesta dapat menghujani kegelapan napas yang kuhirup. Terlalu pelik sampai-sampai aku merasa seakan hidup tanpa akhir riwayat yang dijanjikan. Tak ada surga juga neraka. Segalanya hanya tentang aku dan dunia yang enggan berputar.
Aku merasakannya, ia duduk di hadapanku tersenyum dengan sebilah pisau di balik senyumannya mengamati setiap detail untuk dijadikan senjata. Untungnya kutukan itu telah lama hilang, sehingga aku tak perlu mengernyitkan dahi.
"Ternyata kau masih menilikku," batinku.
Kali ini aku tak akan melambaikan sapu tangan padamu. Rona wajahku tak lagi sama. Dan setelah mengarungi pengembaraan waktu yang nian panjang, aku akan tetap duduk dihadapanmu dengan kaca mata yang diilhami langit untukku, menanti hingga dunia kembali berputar.
0 Comments