Ia hadir dalam langkah kaki dan tangan yang bersicepat. Dan aku, bidikan yang membuatnya tergesa-gesa. Langkahnya mulai mendekat, tapi aku hanya sanggup menatap siluetnya. Dalam jarak yang semakin terpenggal, ia memuntahkan suara yang dapat menyeret siapapun dalam radius keserakahan.
Tubuhku mati. Namun, mataku masih terbuka memperhatikan permainan yang ia lakukan di balik kematian. Aku hidup dalam tubuh yang mati, dan ia kini berada tepat di depan mataku, menatap dengan tajam lantas merampas setiap napas yang kuhembuskan. Aku menjerit memohon sambung tangan pada apa pun yang memperhitungkan suaraku. Namun, itu sia-sia sebab suaraku serta-merta sirna dilahap keheningan.
Ini kejam. setidaknya biarkan aku memejamkan mataku. Biarkan aku mati dalam artian yang sesungguhnya. Oh, dalam situasi ini, aku teringat pada Tuhan. Aku memuji nama-Nya sebanyak yang kumampu, aku berdoa pada-Nya melalui tatapan mataku yang tetap hidup dalam tubuh yang mati. Aku berdoa, berdoa setengah mati.
Siluet itu, ia tertawa, suaranya menggelegar dan tubuhku semakin mati dibuatnya. Aku bertanya-tanya, alibi apa yang ia pegang hingga membabi buta seperti ini di hadapanku. Dan satu-satunya hal bernilai yang aku sadari selama ini hanyalah satu, diriku. Namun, aku tak merasakan hasrat buas dalam napasnya untuk menjarah diriku, tak ada sama sekali. Kematian tubuhku hanyalah permainan baginya.
Oh Tuhan, dalam kondisi ini akhirnya aku tahu bagaimana rasanya merindukan suatu mukjizat dari tangan-Mu. Aku pun tahu rasanya perasaan orang-orang yang mempertanyakan eksistensi Tuhan di saat-saat krisis. Namun, aku tak sampai mempertanyakan eksistensi Tuhan. Maksudku, harus senaif itukah diriku? Tuhan selalu punya kiat-kiat yang jauh dari ancangan budi sempit manusia. Lagi pula kita sudah diberikan akal oleh tuhan dan kurasa itu cukup untuk melakoni hidup.
Tak kusangka, lamunanku memberikan sececah kegetiran baginya. Tak ada lagi suara tawa yang menggelegar, suara kepuasan, ataupun suara kekejaman. Yang kutangkap sekarang hanyalah pekikan kekesalan sebab mataku hanya mematung, tak merefleksikan sedikit pun emosi yang ia dambakan.
Alhasil, kini aku tahu kunci mimpi buruk ini. Ya, terkaanku telak. Ia sekedar hendak bergurau dan letupan emosiku adalah kenikmatan baginya. Ia hanya ingin emosi yang meletup, sehingga ia dapat tertawa dan menyangka bahwa ia bahagia. Bukankah ia lebih naif? Kebahagian atas penderitaan tak akan pernah kekal sebab tak ada satu pun penderitaan yang kekal.
Dan lagi-lagi aku tepat. Tuhan selalu punya taktik yang jauh dari ancangan budi sempit manusia. Dalam situasi ini tanpa aku sadari, tenggelam dalam mantik tentang Tuhan malah meluputkanku dari keserakahan dan intensinya tuk bahagia.
0 Comments