![]() |
Pixabay @free-photos |
Aku mencari cari dalam kegelapan yang pekat, satu sosok yang kudamba. Ia menghilang begitu saja dari radarku. Ah, tidak tidak, biarku perbaiki kata-kataku, ada beberapa kemungkinan, dan dua yang mendominasi yakni ia menghilang atau terhalau. Kepala-kepala di luar sana dalam gambaran umum punya catatan agung tentang sosok itu. Ia adalah pahlawan dalam catatan sejarah lingkup pribadi.
Kau tahu, mereka, kepala-kepala itu cukup sering membuka suara dengan angkuh, melontarkan beribu kombinasi abjad tentang ia, sosok yang kudamba. Saat pekikan suara mereka memenuhi atmosfer, aku berusaha merapat masuk ke dalam sudut hati, memalingkan wajah pada jendela di dalam sana. Aku meringkuk. Mataku berkedip dalam jumlah anomali. Pada ruang bawah tanah hatiku, aku merasakan perang emosi berkecamuk penuh gairah. Oh, aku mendambakan sosok itu, tapi mataku tak punya kompas yang berkerja dalam kegelapan yang pekat.
Ada saat-saat ketika aku menemukan diriku tergeletak tak berdaya dalam botol harapan yang kosong. Pada saat itu, aku membelah diri. Satu diriku akan meloncat keluar dari dalam hatiku, lalu berputar diantara kepala-kepala yang bersuara dalam realita. Aku menampilkan diriku dengan harap ada ia yang lain, milik kepala-kepala yang bersuara itu yang mau memegang tanganku, memintaku tuk turut menjadikan ia sebagai pahlawan dalam catatan agung milikku. Tapi itu terlalu sia-sia, aku kehilangan akal sehat untuk sesaat dalam pencarian tanpa garis petunjuk.
Ia, entahlah, yang kutahu oksigen yang ku hirup telah bercampur aduk dengan jejaknya sebelum ia benar-benar hilang. Aku selalu mengatakan bahwa aku masih baik-baik saja tanpa ia, sosok pahlawan atau apapun itu. Alih-alih mengharapkan kehadirannya, aku bisa mengubah sedikit langkahku sehingga aku menjadi pahlawan bagi diriku sendiri. Sayangnya, sekeras apapun aku berteriak dalam kepalaku, mengucapkan mantra-mantra penguatan hati, aku tak bisa menyangkal bahwa aku masih sekarat. Saat aku menatap bayangan hatiku di balik cermin, aku mendapati diriku tengah sekarat dalam kesakitan dan kesendirian.
Dalam hatiku, air mataku hampir memenuhi setiap sudut ruang. Bahkan, genangan air mata itu hampir membuat diriku mati tenggelam. Aku bertanya-tanya kenapa aku tak memilikinya? Apa ini ada hubungannya dengan garis tanganku? Ataukah memang ia yang sengaja membersikan pundaknya lantas menaruh namaku di bawah sepatunya? Aku ingin sekali menanyakan pertanyaan itu pada Semesta, tapi aku mengurungkan niatku. Maksudku, aku bahkan tak mampu menemukannya, sosok yang kudambakan itu, lantas bagaimana bisa aku akan menemukan Semesta?
0 Comments