![]() |
Pixabay @29450 |
Untuk kesekian kali, aku memberi kesempatan padamu. Untuk kesekian kali pula, aku menulis ulang kata kesempatan yang kau hapus. Untuk kesekian kali, aku memberimu jubah kepercayaan. Untuk kesekian kali pula, aku menjahit sobekan-sobekan, pada jubah kepercayaan yang kau rusaki.
Di waktu lampau kita telah berikrar; kita menjadi satu dalam setiap tarikan dan hembusan kehidupan. Saling hadir dalam setiap kesakitan, juga semua jenis emosi. Entah itu hembusan napas berat ataukah lonjakan endorfin yang penuhi tiap-tiap sel di kepala. Kau dan aku menjadi satu, sebab ketukan palu semesta. Berbunyi dengan gema simfoni, "Kita sebagai karunia semesta." Sebagai bentuk karunia semesta, kita diberkati mata dan kaki, untuk melangkah dan memilih, juga tangan, untuk mendekap satu sama lain. Agar capai titik puncak kesempurnaan, semesta menambahkan sebuah perasaan untukku dan sebuah pemikiran bagimu. Kitapun terlahir dan mulai menoreh setiap langkah, saling beriringan bersama perasaan dan pemikiran. Begitulah yang seharusnya terjadi.
Waktupun berputar pada masanya, lambat laun, aku mendapatkan perasaan; bahumu nampak semakin melebar. Tak ingin hal buruk menimpamu, akupun mengatakan perihal itu padamu, tapi kau apatis.
"Tahu apa kau! Perasaanmu itu hanyalah omong kosong! Semesta menempatkan perasaan di dadamu. Dan letak perasaanmu itu lebih rendah dibanding pemikiranku yang ditakdirkan menduduki kepala. Ya, di kepala, dimana itu menjadi tempat bersemayamnya mahkota yang gagah!" Ujarmu gusar.
Sejujurnya, aku terlampau sakit oleh tuturmu itu. Namun, lagi-lagi, saat aku memberitahu betapa aku tersakiti oleh tuturmu, kau malah membela diri dengan mengatakan bahwa rasa sakit yang aku rasakan itu wajar, sebab aku punya perasaan. Oh, semesta, aku lelah dengan betapa terhormatnya pemikiran di kepalanya itu. Ia terlampau membabi buta dengan cocoklogi pemikiran dan mahkota yang sama-sama mendapat kedudukan di kepala. Daya upaya apa yang harus aku terapkan? agar aku bisa menggoyangkan tubuhnya, untuk membuatnya kembali pada jalan yang ditakdirkan semesta; perasaan dan pemikiran harus beriringan. Semesta tak menyiratkan, apalagi menyuratkan sistem kasta saat pemberian perasaan padaku, juga pemikiran padamu.
Siratanku selama ini, dalam usaha memanggil namamu semata-mata, agar kau tetap menaruh fokus pada langkah awal kita. Kau tahu? aku yakin bahwasanya kau telah lupa. Dalam pemikiran ada kesombongan dan dalam hati ada pula nafsu. Jika pikiran dan perasaan hilang irama, maka kesombongan dan nafsu akan berlomba menancapkan bendera pada pemikiranmu, juga perasaanku. Oh, membayangkan hal itu membuat perasaan histeris bergejolak di dalam dadaku. Fakta bahwa kita berada dalam radar semesta, membuat bulu kudukku berdiri. Aku cemas, juga takut. Jika pemikiran dan perasaan dirampas oleh kesombongan dan nafsu, maka semesta bisa saja langsung mungkudeta diri kita. Dan hilang sudah gema simfoni "Kita sebagai karunia semesta," dalam setiap langkah. Menghentikan perputaran waktu, hingga waktu menjadi renta dalam bayang-bayang kesombongan dan nafsu.
0 Comments