Ichadiass
Ichadiass
  • Home
  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Sitemap
  • Contact Us

Pixabay @Ju-dit

Aku tengah diburu waktu. Namun, entahlah, aku tak benar-benar tahu kapan waktu akan sampai pada titik jenuh. Mungkin akan lebih cepat atau bisa saja sedikit lebih lama.

Selagi terjebak dalam ketidakpastian yang solid, aku mengisi waktu dengan memenuhi setiap ruang di kepala dan mata dengan utopia-utopia, untuk melukis senyuman. Sayang, itu tak bertahan lama. Kepala terlampau penuh dengan hal lainnya, hingga tak lagi mampu menampung utopia-utopia yang belum lama mengisi ruang di kepala. Mau tak mau, aku kembali dalam rekonstruksi realita. Aku menghela napas, panjang, lalu menghembuskannya, beriringan dengan buyaran air dari sudut mata. Ah, ini membuatku sesak. Di hati, di kepala, dan langkah. 

"Sudah sejauh ini, haruskah?" pikirku seraya melirik garis hijau yang mewarnai pergelangan tangan. Kini aku berganti melirik pada angka-angka di layar handphone, sedang tangan bergerak cekatan, rusaki formasi air yang mengalir di kedua pipi. Kepala bergantian memandang kosong ke segala penjuru arah. Sesaat kemudian, kembali menunduk dan menguatkan hati, "Ya, semua ini harus berakhir," ujarku dalam diam. Aku bangkit dengan tergopoh-gopoh. Kaki gemetaran, dalam usaha menopang beratnya isi kepala. Mata tak lagi bisa melihat dengan jelas. Dan lagi-lagi, isi kepala yang telah membuat rumit pandangan. 

Pelan-pelan aku melangkah dalam usaha terakhir. Tangan bergerak bebas membantu kaki dan mata, untuk menemukan arah. Sedang kepala, entahlah, dia telah lupa siapa dirinya. "Jika ini gagal, mungkin, dunia akan meracuni setiap tarikan napasku," ujarku pada kaki yang gemetaran dalam usaha akhir ini. 

Aku masih melangkah. Sambil melangkah, kudapati peluh yang mengalir deras di sekujur tubuh. Aku melangkah. Aku mengangkat tangan melirik jam di pergelangan tangan. Sayang, jam telah kehilangan angka. Mungkin ia terlampau pusing hingga pingsan, sebab tak henti-hentinya berputar. Aku melangkah. Melambaikan sapu tangan pada jalan kesunyian di balik punggungku. Aku melangkah. Kini dalam kabut kelam. Peluh masuk ke dalam pori-pori, tak ada lagi yang tersisa. Peluh digantikan sudah oleh terjangan hawa dingin. Aku melangkah. Aku merasa hidung kini penuh oleh lendir bening. Aku rapatkan kedua tangan, memeluk bagian-bagian tubuh yang bisa dijangkau. Aku melangkah. Mata sepenuhnya menjadi buta. Kaki semakin bergetar hebat. Separuh bagian dalam isi kepala telah hilang. Aku melangkah. Dalam buta. Dalam kesulitan. Dalam kesakitan. Dan, dalam kelam dan dingin.

Aku masih melangkah. Dalam perputaran waktu yang telah mati, akhirnya, tubuhku mendeteksi udara hangat. Jaraknya tak begitu jauh dari tempatku melangkah. "akhirnya, aku menemukan titik itu," ujarku setelah sekian lama membisu. Kaki masih gemetar, tapi tak begitu hebat. Semangat muncul dalam hati. Jantung berpacu semakin kencang. Aku mempercepat langkah, berusaha sekuat tenaga agar bisa masuk ke dalam ruang udara hangat di depan sana. Aku sudah muak dengan kabut kelam dan terjangan hawa dingin yang menyerang bertubi-tubi.

Aku melangkah. Aku melangkah. Aku melangkah. Dan melangkah, hingga akhirnya, aku benar-benar sampai pada titik kehangatan. Aku merentangkan kedua tangan, merasakan udara hangat membelai setiap inci tubuhku. Aku menatap langit, tapi gagak menjawab tatapanku. Dalam tatapan sang gagak, aku merasa ada rahasia di balik bola matanya. Kami saling memberi tatap untuk beberapa saat, kemudian ia pergi seakan kehadiranku adalah yang kesekian kali baginya. Oh, setelah kepergian gagak di atas sana, mataku kini menangkap bayang warna kelabu yang menyembunyikan langit biru.  

Tanpa aku sadari, tatapan sang gagak yang aku terima terasa menyerap habis seluruh energiku. Tak ada lagi yang tersisa, aku sungguh lelah hilang daya. Aku rasa, aku membutuhkan istirahat untuk memulihkan segalanya, sembari mengatur pernapasan agar kembali normal. Setelah beberapa saat, aku merasa sedikit pulih. Maksudku, pulih dari rasa lelah yang singgah di tubuhku, hanya itu, tak lebih. Aku berdiri dari dudukku, dan aku sedikit terkejut karena kaki kini telah normal. Tak ada lagi gerakan gemetar yang menyulitkan langkah. Dan ini membuatku sadar, tak ada lagi satupun isi kepala yang memberatkan langkah. Sedang mata, ia tetap dalam kebutaannya. 

Aku membuka langkah pertama, setelah beristirahat sejenak. Setelah beberapa langkah, aku membalikkan tubuh, merasakan perjalanan panjang yang telahku lalui. Aku melepaskan jam yang selama ini mencengkeram erat pergelangan tangan, kemudian meletakkannya di satu sisi jalan. Hati telah sampai pada titik keyakinan. Aku melambaikan sapu tangan, mengucap terimakasih pada dunia yang kosong, juga hembusan akhir yang dingin.  Sedetik kemudian aku menggandeng hati, menunggu sejenak tuk merasakan kehangatan udara sedikit lebih lama. Setelah usai dengan segala jenis perpisahan, akupun menggerakkan kaki, sambil menutup mata, melangkah masuk ke dalam dimensi akhir, dimensi indraloka. 

 

Pixabay @29450

Untuk kesekian kali, aku memberi kesempatan padamu. Untuk kesekian kali pula, aku menulis ulang kata kesempatan yang kau hapus. Untuk kesekian kali, aku memberimu jubah kepercayaan. Untuk kesekian kali pula, aku menjahit sobekan-sobekan, pada jubah kepercayaan yang kau rusaki. 

Di waktu lampau kita telah berikrar; kita menjadi satu dalam setiap tarikan dan hembusan kehidupan. Saling hadir dalam setiap kesakitan, juga semua jenis emosi. Entah itu hembusan napas berat ataukah lonjakan endorfin yang penuhi tiap-tiap sel di kepala. Kau dan aku menjadi satu, sebab ketukan palu semesta. Berbunyi dengan gema simfoni, "Kita sebagai karunia semesta." Sebagai bentuk karunia semesta, kita diberkati mata dan kaki, untuk melangkah dan memilih, juga tangan, untuk mendekap satu sama lain. Agar capai titik puncak kesempurnaan, semesta menambahkan sebuah perasaan untukku dan sebuah pemikiran bagimu. Kitapun terlahir dan mulai menoreh setiap langkah, saling beriringan bersama perasaan dan pemikiran. Begitulah yang seharusnya terjadi. 

Waktupun berputar pada masanya, lambat laun, aku mendapatkan perasaan; bahumu nampak semakin melebar. Tak ingin hal buruk menimpamu, akupun mengatakan perihal itu padamu, tapi kau apatis. 

"Tahu apa kau! Perasaanmu itu hanyalah omong kosong! Semesta menempatkan perasaan di dadamu. Dan letak perasaanmu itu lebih rendah dibanding pemikiranku yang ditakdirkan menduduki kepala. Ya, di kepala, dimana itu menjadi tempat bersemayamnya mahkota yang gagah!" Ujarmu gusar. 

Sejujurnya, aku terlampau sakit oleh tuturmu itu. Namun, lagi-lagi, saat aku memberitahu betapa aku tersakiti oleh tuturmu, kau malah membela diri dengan mengatakan bahwa rasa sakit yang aku rasakan itu wajar, sebab aku punya perasaan. Oh, semesta, aku lelah dengan betapa terhormatnya pemikiran di kepalanya itu. Ia terlampau membabi buta dengan cocoklogi pemikiran dan mahkota yang sama-sama mendapat kedudukan di kepala. Daya upaya apa yang harus aku terapkan? agar aku bisa menggoyangkan tubuhnya, untuk membuatnya kembali pada jalan yang ditakdirkan semesta; perasaan dan pemikiran harus beriringan. Semesta tak menyiratkan, apalagi menyuratkan sistem kasta saat pemberian perasaan padaku, juga pemikiran padamu. 

Siratanku selama ini, dalam usaha memanggil namamu semata-mata, agar kau tetap menaruh fokus pada langkah awal kita. Kau tahu? aku yakin bahwasanya kau telah lupa. Dalam pemikiran ada kesombongan dan dalam hati ada pula nafsu. Jika pikiran dan perasaan hilang irama, maka kesombongan dan nafsu akan berlomba menancapkan bendera pada pemikiranmu, juga perasaanku. Oh, membayangkan hal itu membuat perasaan histeris bergejolak di dalam dadaku. Fakta bahwa kita berada dalam radar semesta, membuat bulu kudukku berdiri. Aku cemas, juga takut. Jika pemikiran dan perasaan dirampas oleh kesombongan dan nafsu, maka semesta bisa saja langsung mungkudeta diri kita. Dan hilang sudah gema simfoni "Kita sebagai karunia semesta," dalam setiap langkah. Menghentikan perputaran waktu, hingga waktu menjadi renta dalam bayang-bayang kesombongan dan nafsu. 








Foto bersama siswa/siswi dan pengurus SD Muhammadiyah Mnelabesa, Tili'u


Mereka putra-putri penerus bangsa yang hidup jauh di pelosok NTT. Jauh dari keramaian dan kebisingan kota. Mereka putra-putri yang harus melangkahkan kaki setiap pagi untuk menuntut ilmu. Disaat orang-orang masih menutup diri di bawah kehangatan selimut pagi, mereka telah keluar dari pintu rumahnya, berjalan dengan kaki kecil mereka, menelusuri jalan bebatuan, menembus dinginnya kabut pagi, sesekali mereka mendapat sedikit kehangatan dari sinar mentari yang menembus dedaunan rimbun. 

Senang rasanya mendapat kesempatan bertatap wajah dengan siswa-siswi SD Muhammadiyah Mnelabesa yang terletak di desa Tili'u. Tili'u, itulah nama desanya, desa kecil yang berada di pedalaman kota Soe. Untuk mencapai desa Tili'u, saya harus menaiki bis antar kota, kemudian dilanjutkan dengan menaiki ojek untuk sampai ke desa tersebut.  Perjalanan dari Kupang sampai ke desa Tili'u memakan waktu kurang lebih 4 jam perjalanan. Namun, apalah arti 4 jam perjalanan itu, tak ada rasa letih yang hinggap di tubuhku. Oh, jangan berpikir aku layaknya manusia super yang tak mengenal letih, tidak, tidak seperti itu. Hanya saja, segala keletihan perjalanan itu seketika sirna ketika kami disambut oleh senyum tulus siswa-siswi SD Muhammadiyah Mnelabesa, juga keramahan guru-guru dan masyarakat setempat. Oh, ya, tak jauh dari SD Muhammadiyah Mnelabesa terdapat satu panti asuhan. Panti asuhan itu dikenal dengan nama panti asuhan Abu Bakar Sidik yang berada satu kompleks dengan SD Muhammadiyah Mnelabesa. Panti asuhan itu difungsikan layaknya asrama bagi anak-anak SD kelas 4 hingga kelas 6 yang jarak rumahnya terlampau jauh dari sekolah. Kehadiran panti membantu para murid agar dapat hadir di sekolah tepat pada waktunya. Sehingga, tak ada pelajaran di sekolah yang terlewat. Juga memperpendek jarak yang harus ditempuh bagi siswa-siswi SD Muhammadiyah Mnelabesa. 

Waktu berkunjung ke sana, langit telah menunjukkan waktu petang. Waktu sekolah telah usai beberapa jam sebelumnya. Untungnya guru-guru di sana telah mengetahui rencana kedatanganku bersama  rekanku sehingga, mereka siswa-siswi telah dikumpulkan bersama beberapa warga setempat menunggu kedatanganku bersama rekanku. 

Di sana kami bersama-sama berbagi rasa, berbagi kata, berbagi nilai, juga pengalaman. Mereka menyadarkanku bahwa betapa jarangnya aku tersenyum syukur dengan segala hal yang aku miliki. Aku selalu mengeluh meminta lebih pada apa yang ada, juga selalu menjatuhkan pandangan mengundang keinginan pada hal-hal yang tidak aku miliki. Sedang mereka di sini, dari membuka mata hingga kegelapan datang menutup mata, segalanya adalah serba seadanya, bahkan kekurangan. Tapi, mereka tak meratapi kehidupan itu. Mereka menjalani segalanya dengan rasa ikhlas dan bahu yang ringan. Kata salah satu warga "Hidup itu harus dibarengi dengan rasa syukur, jika lupa bersyukur, semua harta yang  dipunya tak akan ada nilainya di mata. Orang akan selalu merasa dalam kesulitan dan kekurangan. Sebab, mata selalu melihat pada apa yang tak dimiliki, sedang mata sengaja menjadi buta pada harta yang ada di sisi mereka."

Tulisan ini juga tayang di blog Titik Terang dengan judul "Pai Kupang Tengah & Komunikasi NTT Peduli Cerdas Berbagi Kebersamaan di Pelosok NTT." Atau bisa di akses melalui alamat di bawah ini:

https://titikterang07.blogspot.com/2021/07/pai-kupang-tengah-komunitas-ntt-peduli.html?m=1

 

Pixabay @Senjakelabu29

Udara hari ini terasa sejuk. Angin semilir hilir mudik membelai tiap senti ragaku. Kakiku melangkah dengan perlahan diantara kepala-kepala yang juga tengah lewat. Tak begitu ramai, dan ini membuatku nyaman. 


Aku melangkah. Tersenyum. Mengangkat wajah menatap langit. Perlahan menutup mata. Menarik napas dalam-dalam. Aku menikmati terpaan hangat sinar mentari di bawah tatapan langit biru. Oh, andai saja tiap-tiap hari yang ku jalani selalu senyaman ini, pasti tak akan ada satupun garis halus di keningku. 


Hampir setengah jam lamanya aku memutari taman ini. Dan sepertinya, semua aroma bunga di sini sudah melewati indra penciumanku. Setelah melangkah melewati tiap-tiap bunga yang mekar, akupun memutuskan tuk sedikit mengistirahatkan otot kakiku. Aku memilih duduk di lahan terbuka, beralas rumput hijau, dan beratap dedaunan rindang. Sialnya, aku tak membawa bekal untuk disantap di momen ini. Padahal, kenikmatan momen ini akan semakin nikmat jika ada santapan favoritku. Walau begitu, terlepas dari tak adanya santapan lezat di momen ini, itu tak benar-benar membuatku merasa tak nyaman, aku hanya sedikit menyesal dengan persiapan yang tak begitu matang di momen semenyenangkan ini. 


Udara yang sejuk, angin semilir yang hilir mudik menyapa, ah, perasaan tak asing ini muncul diam-diam. Aku memutar kepala menengok ke belakang menatap rerumputan hijau. Menyapu pelan dengan satu tangan, sesekali mulut ikut meniup mengusir debu kotoran yang tak tertangkap mata. Sedetik kemudian aku membaringkan tubuhku dan menutup kedua mata.


Aku berbicara dalam benakku, aku tak benar-benar menginginkan istirahat total ini. Momen ini terlalu nyaman dan menyenangkan untuk dilewati begitu saja. Tapi, sebesar apapun keinginanku untuk tetap terjaga akan tetap kalah dengan kebutuhan naluriah yang sulit tuk ku hindari ini. 


Baiklah, aku akan mengiklaskan momen nyaman dan menyenangkan ini agar aku bisa menutup mata dengan tenang. Tanpa ku sadari, aku menaruh sedikit harapan dalam hati yang paling dalam. Harapan itu agar saat aku membuka mata nanti aku tak kehilangan momen ini, dan menemukan momen yang lebih menyenangkan dari saat ini. 

Pixabay @Stu


Hari ini seperti hari-hari biasanya. Aku duduk di pojok kafe bersamanya sambil mendengarkan lagu "Love Yourself" yang memenuhi ruang kafe. Aku menyukai sepenggal lirik itu, "When you told me you hated my friends, the only problem was with you and not them." Tak lama setelah penggalan lirik itu terdengar, alih-alih duduk di sampingku, kini ia berpindah tuk duduk berhadapan denganku. 

Seketika aku merasa seakan diikat oleh kehadirannya. Aku menjadi bisu. Aku menjadi tuli. Otakku kehilangan daya pikir. Sedang mataku, membodohi kehadirannya, seolah hanya ada ia dalam setiap waktuku. 

Mata dan hatiku terikat satu sama lain. Memberi secercah cahaya di setiap detik yang lewat. Tapi, ada pembiasan cahaya di sini. Bulu kudukku berdiri, jantungku berdegup tak beraturan. Gerak tubuhnya masih mengintimidasi napasku. Saat aku sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba tangannya meremas gemas pipiku sambil berucap: "Kau bonekaku, kau bonekaku yang manis, tak boleh kemana-mana. Harus selalu ada di sisiku." Ah, tutur yang keluar dari mulutnya membuatku bergidik. 

Serta merta, setelah mendengar tuturnya, aku merasa ada suatu sentuhan yang menyentuh keningku. Aku tak tau apa itu. Sepertinya, dalam sentuhan itu ada sesuatu yang menerobos merasuki syaraf-syarafku. Bergerak dalam persembunyian. Menghapus beberapa memori, dan beberapa lainnya dikaburkan. Itu membuatku terbuang dari kepalaku. Siapa aku? Oh, aku bertanya-tanya pada hati dan mata di sosokku. Ah, sial apa aku, mata dan hati telah membisu. 

Oh, ada satu sosok di depanku. Aku rasa dia tahu dan akan memberi jawaban dari setiap hal yang hilang dari hidupku. Perlahan-lahan, aku merasakan dorongan paksa rasa tenang di beberapa sisi tubuhku. Baiklah aku akan menjadi tenang, sebab, kini aku yakin, sosok di depanku akan memberikan jawaban yang aku butuhkan. Wajahku, kini ia tersenyum simpul. Tapi, mengapa napasku berdarah?

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • Harapan di Taman Bunga
  • Untukmu, Berhentilah...
  • Reminisensi
  • Riwayat Manis; Ia dan Rembulan
  • Sebelum Semuanya Terlambat

Categories

  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Puisi
Diberdayakan oleh Blogger

Laporkan Penyalahgunaan

Search This Blog

Blog Archive

  • Maret 2025 (1)
  • Februari 2025 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Juni 2023 (1)
  • Mei 2023 (1)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • Oktober 2022 (1)
  • September 2022 (2)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juli 2022 (1)
  • Juni 2022 (3)
  • April 2022 (1)
  • Maret 2022 (1)
  • Februari 2022 (2)
  • Januari 2022 (1)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (1)
  • September 2021 (3)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (5)
  • Juni 2021 (5)
  • Mei 2021 (2)

Social Plugin

Home Contact Us About Us Privacy Policy

Tentang Saya

Foto saya
Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang awam dalam banyak hal. Tidak sedang mengajari siapa-siapa. Hanya menumpahkan apa yang tak sempat diceritakan
Lihat profil lengkapku

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Translate

Copyright © Ichadiass. Designed by OddThemes