Ichadiass
Ichadiass
  • Home
  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Sitemap
  • Contact Us

 

Photo by Andrea Ucini on Behance

Jam berputar, berderu, 'waktu telah sampai di arah pukul 14 : 3.' Dunia membeku, kabut turun menyelimuti ruang waktu, membuka pintu dunia nol untuk langkah napas harapan. 

Waktu kehilangan jiwa, menyisakan raga waktu yang terkapar di arah pukul 14 : 3. Di sana, pada angka yang membeku, aku turut terjerat di dalamnya, bersama potongan-potongan kenangan tak bertuan.  

Terperangkap di dalam waktu yang berkalang tanah, udara adalah kegelapan, siang tinggal nama. Sepanjang mata memandang adalah malam yang tak berteman bintang dan rembulan. 

Aku mencoba bangkit dan membuang pandang jauh ke dalam malam, berusaha tuk memeluk kegelapan. Tiba-tiba sececah cahaya menusuk sudut hatiku. Napasku terbuka, mataku menyipit, mencoba mengenali malam dan kegelapan ini. 

Mendadak bayanganmu meledak di kedua pupilku, menyisakan debu kabut yang menusuk kesadaranku. Apakah kita masih ada? Aku melihatmu, mencoba bertumpu di antara celah kabut yang memenuhi penglihatanku. 

Adakah kita? Kita. Ya, kita, adalah aku dan kenangan. Bukan lagi aku dan dirimu. Ingin sekali aku menjatuhkan hukuman mati pada realita yang kuterima. Aku enggan memupuk hidup di atas piring fakta yang menyesakkan. Aku menginginkan oasisku. 

Kendatipun itu adalah fana, itu bukanlah pasal bagiku. Aku bahkan telah kehilangan bayanganku. Tak ada lagi yang kutakutkan, melainkan suguhan realita yang harus kulahap; tentang kita, adalah aku dan kenangan. Bukan lagi aku dan dirimu. 

Aku berlari di atas dunia yang beku, di dalam waktu yang mati. Berteriak pada semesta yang membisu. Menyerahkan semua emosiku, sehingga kau dapat kembali masuk ke dalam diriku; adalah kita. 

Di dalam siang, satu langkahku terbakar oleh sengatan terik. Di dalam malam, satu lagi langkahku membeku, diam tergeletak di atas taman kenangan. Kini aku hilang langkah. 

Jiwa yang haus kini harus meneguk gelas harapan yang penuh kebohongan. Kemana aku harus menatap?! sedang mataku telah melepaskan tatapannya untuk waktu yang telah mati. Aku tak punya langkah. Bahkan napasku kehilangan bayangannya. 

Kehidupan apa yang sebenarnya tengah aku lakoni? Aku hanya berusaha mendapatkan kepingan hidupku yang hilang. Namun, mengapa aku malah kehilangan kepingan lain dari hidupku? 

Apakah ini yang sering orang-orang katakan tentang berjudi dengan semesta? Kata orang, Tuhan tak bermain dadu, tapi mengapa napasku seakan-akan dikendalikan oleh angka dadu? 

Namun, kata mereka Tuhan tak bermain dadu?! Lantas, siapa gerangan yang tengah memainkan dadu di dalam hidupku?

Photo by SgtSalt on Flickr

Ini adalah baris akhir dalam langkah cerita kita. Mari sama-sama kita lambaikan sapu tangan. Usap matamu. Baris kertas dalam kisah kita telah usai. Mari kita ukir tanda titik di akhir langkah ini, sebelum kita saling melepas genggaman janji yang tak pernah mendapat restu Langit. 

Tak perlu merasa buruk. Tak perlu ada kesedihan. Tak perlu ada penyesalan. Tak perlu ada kekhawatiran. Kita hanya mengakhiri langkah dalam satu kisah kehidupan. Masih ada kisah-kisah lain yang menanti pijakan langkah kita. 

Kita hanya berhenti pada satu kisah. Tak ada yang tahu, mungkin saja, kita bisa kembali bertemu dalam lembaran kisah yang baru. Untuk sekarang, kita hanya perlu terus melangkah, mengukir kisah-kisah baru  pada lembaran baru yang menanti. 

Mari kita terus melangkah. Melangkah membuka tabir cerita yang menanti. Kita tak pernah tahu cerita apa yang tengah menunggu kita di depan sana. 

Tak perlu merasa buruk. Tak perlu ada kesedihan. Tak perlu ada penyesalan. Tak perlu ada kekhawatiran. Perpisahan adalah hal yang biasa. Kau tahu bukan, bahwa pertemuan selalu datang bersama perpisahan?  

Pertemuan dan perpisahan adalah dua hal yang tak bisa kita pisahkan. Namun, jangan khawatir, sebab perpisahan pun tak pernah datang sendirian. Perpisahan selalu datang bersama suatu pertemuan baru. Entah seperti apa wajah pertemuan itu, yang perlu kita lakukan hanyalah melangkah dan melangkah, hingga kita dapat membuka tirai dari wajah baru pertemuan tersebut. 

Ya, itu benar, bahwa aku selalu menenangkanmu, mengatakan bawah perpisahan ini bukanlah hal yang patut kita tangisi. Hal tersebut bukan karena aku bahagia atas perpisahan ini. Tidak, tak seperti itu. Sebenarnya, maksudku, aku hanya ingin agar kita dapat melewati hari terakhir ini dengan senyum dan tawa kebahagiaan. Sehingga, tak akan ada penyesalan di hari esok. Dan kelak, kala kita saling mengenang, maka segalanya hanya tentang kenangan indah yang membawa senyum kebahagiaan. 

Aku tak ingin mengukir garis akhir dalam lembaran cerita kita dengan kesedihan dan kesakitan. Sebab, di hari esok, kala kita saling mengenang, itu hanya akan membawa kesedihan dan kesakitan pula. Apa yang kita lakukan hari ini tentunya akan memberi hasil di kemudian hari, bukan? 

Maka, mari kita usap mata kita. Mari kita saling memberi sapu tangan terindah. Saling melambaikan sapu tangan kita dengan lambaian kebahagiaan. 



Photo by Nicolas Vaudour on Behance

Hasrat adalah hitam dan putih. Hasrat adalah kemajuan dan kemunduran. Hasrat ada di kiri dan kanan sepatu yang kita kenakan. Hasrat yang melangkah ataukah kaki yang melangkah? Semua ada di dalam pilihan. 

Di setiap tarikan napas, terselip hitam dan putih, hasrat. Di setiap hembusan napas, terselip wajah-wajah hasrat, abu-abu. Meninggalkan bekas penyesalan atau tidak, semua itu ada di dalam pilihan. 

Seperti apakah wajah hasrat? Tangan punya kendali atas bentuk wajah hasrat. Indah ataukah buruk rupa, semua itu ada di dalam pilihan. Seperti apakah darah dari hasrat? Hati punya kendali atas itu. Dan semua itu ada di dalam pilihan. 

Mengarah pada pilihan, taukah kita apa itu pilihan? Sadarkah kita apa itu pilihan? Sudahkah kita menggunakan pilihan itu? Atas dasar sadar ataukah tanpa sadar? Atas pertimbangan pikiran dan hati ataukah tanpa kedua itu? Diri kita ataukah orang lain? 

Pikiran di dalam pikiran adalah hal yang sederhana. Namun, pikiran di dalam realita adalah prahara. Sebab, kita bukan satu-satunya yang memiliki tangan. 

Bisakah kita bernapas dengan kedua tangan kita? Jika tidak, tangan mana yang harus kita pilih? Adakah napas yang tersembunyi di balik tangan itu? 

Kita membuat pilihan. Hasrat turut ikut memberi bisikan. Namun, wajah hasrat mana yang harus kita lihat? Semua itu ada di dalam pilihan. Namun, siapakah yang membuat pilihan tersebut? 

Apapun bentuk wajahnya, hitam atau putih, dan segala warna pilihan, hasrat selalu meninggalkan bingkisan untuk sepatu-sepatu yang melangkah maupun tak melangkah. Hasrat selalu meninggalkan bingkisan untuk perasaan-perasaan yang menanti ataupun tidak. Dan hasrat tahu apa yang ia berikan. Hitam atau putih, elok atau buruk rupa, semua itu kembali pada pilihan yang ia terima. 

 

Aku menulis ini dengan harap kau kan menemukan jiwa yang kuselipkan di dalam tulisan ini. 

Aku berjumpa dengannya di dalam siang. Di dalam malam, aku mendapati kupu-kupu memenuhi ruang perutku. Dan di dalam pagi, siang dan malam mendekap di atas lembaran baru tanpa jumpa dan sapa. 

Masihkah? 

Ia telah mengambil waktuku. Ia menjadi pagi, siang, dan malam. Aku tak punya jalan untuk melarikan diri. Sebenarnya, aku pun belum bersungguh-sungguh untuk melarikan diri. Ia sudah mengambil waktuku, bukankah aku harus mendapatkan waktuku kembali?

Masihkah? 

Pada rekaman jejak lalu, kala indra tak lagi mendapat rasa, maka langkah kan mengambil garis awal. Namun, segalanya telah berbalik dalam garis ini. Padahal waktu telah menua, cukup berumur untuk membuatku melangkah mengambil titik awal. Sayang, ia malah menjamur di dalam darahku. Kilas cerita satu persatu ikut berdenyut di dalam nadiku. Dan ini sungguh membuatku kehilangan akal. 

Masihkah? 

Pada pagi dan malam, aku terbuang di dalam kegelisahan. Ia menjamur di dalam darahku. Telah menjamur. Itu tak baik. Tekad  secara tiba-tiba memacu saraf-saraf yang sekarat. Aku membuka rute baru. Mencuci bersih darahku. Menyuapi pikiran dengan teori-teori yang kurancang. 

Masihkah? 

Tentu saja. Rute baru, teori-teori, dan apapun itu, segalanya membawaku kembali pada titik awal. Ia tetap menjadi pagi, siang, dan malam. Sedang aku semakin terbuang jauh dalam kegelisahan. 

Masihkah? 

Hari-hari berlalu lalang di atas bahuku. Napas semakin berat. Realita nyaris kehilangan wajah. Sayang, aku masih belum mau mengambil resiko. Menurutku ini terlalu riskan. Kata seorang perkata, 'Hidup tak hanya soal satu cerita,' terlalu banyak benang merah yang dapat mengelabui mata. 

Masihkah? 

Tentu saja aku masih di dalam ruang waktu yang sama. Tapi aku punya catatan lalu yang sulit untuk aku lupakan. Bahwa aku pernah melangkah, menolak tuk menonton tangan-tangan yang lupa akan jiwanya. Aku pernah melangkah melepaskan egoku. Aku pernah melangkah dengan kebebasan. Langkah yang aku syukuri, sebab kini langkah lalu itu menjadi rambu kehidupanku. 

Masihkah? 

Aku bertanya padamu. Apakah kau merasakan denyut yang menjalar di dalam pertanyaan itu? 

Masihkah?  

Aku masih memberikan napas di dalam pagi, siang, dan malam. Adakah denyut di dalam nadimu?







 

Jplenio/Pixabay

Aku menatap pada langit sore. Di sana, di ufuk barat aku melihatmu yang pergi bersama mentari meninggalkan bekas warna yang terekam di dalam kenangan. Kehangatan warna yang tertinggal seakan menjadi selimut dalam malam yang hadir membawa dingin, pun hembusan kenangan yang membeku. 

Aku melihat menembus langit malam. Berusaha menemukanmu yang mungkin bersembunyi di antara bintang-bintang yang bersinar. Di dalam pelukan malam, bersama melodi kesunyian yang menari, aku merasakan kehadiranmu. Kau hadir di tengah ruang hati, menyanyikan lagu-lagu kenangan yang merindu.  

Sejujurnya, setiap tarikan dan hembusan napasku adalah dirimu. Kau seakan berubah menjadi atmosfer dalam semestaku. Di setiap langkah kakiku, aku menanam pohon harapan; Mungkin di suatu langkah nanti adalah pintu untuk kehadiran sosokmu. 

Apakah kau pun menantikan langkah itu? Aku bertanya-tanya pada malam, mungkinkah aku satu satunya yang menjadi buta? Entahlah, satu-satunya yang kulihat adalah aku menikmati perjalanan ini. Aku bertanya-tanya seperti apakah wajah akhir dari pohon harapan yang kupupuk. 

Masih di dalam malam. Aku menatap dalam pada mataku di depan cermin. Di dalam mataku, aku masih menemukan sisa-sisa tatapanmu. Tatapan lembut yang menyisir awan keraguan di wajahku. Bahkan hingga kini saat ragamu tak lagi kutemukan, segalanya masih sama. Tak ada satupun keraguan maupun ketakutan yang berhasil mengisi kekosonganmu. 
Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • Harapan di Taman Bunga
  • Untukmu, Berhentilah...
  • Reminisensi
  • Riwayat Manis; Ia dan Rembulan
  • Sebelum Semuanya Terlambat

Categories

  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Puisi
Diberdayakan oleh Blogger

Laporkan Penyalahgunaan

Search This Blog

Blog Archive

  • Maret 2025 (1)
  • Februari 2025 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Juni 2023 (1)
  • Mei 2023 (1)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • Oktober 2022 (1)
  • September 2022 (2)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juli 2022 (1)
  • Juni 2022 (3)
  • April 2022 (1)
  • Maret 2022 (1)
  • Februari 2022 (2)
  • Januari 2022 (1)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (1)
  • September 2021 (3)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (5)
  • Juni 2021 (5)
  • Mei 2021 (2)

Social Plugin

Home Contact Us About Us Privacy Policy

Tentang Saya

Foto saya
Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang awam dalam banyak hal. Tidak sedang mengajari siapa-siapa. Hanya menumpahkan apa yang tak sempat diceritakan
Lihat profil lengkapku

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Translate

Copyright © Ichadiass. Designed by OddThemes