Ichadiass
Ichadiass
  • Home
  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Sitemap
  • Contact Us
Photo by SgtSalt on Flickr

Ini adalah baris akhir dalam langkah cerita kita. Mari sama-sama kita lambaikan sapu tangan. Usap matamu. Baris kertas dalam kisah kita telah usai. Mari kita ukir tanda titik di akhir langkah ini, sebelum kita saling melepas genggaman janji yang tak pernah mendapat restu Langit. 

Tak perlu merasa buruk. Tak perlu ada kesedihan. Tak perlu ada penyesalan. Tak perlu ada kekhawatiran. Kita hanya mengakhiri langkah dalam satu kisah kehidupan. Masih ada kisah-kisah lain yang menanti pijakan langkah kita. 

Kita hanya berhenti pada satu kisah. Tak ada yang tahu, mungkin saja, kita bisa kembali bertemu dalam lembaran kisah yang baru. Untuk sekarang, kita hanya perlu terus melangkah, mengukir kisah-kisah baru  pada lembaran baru yang menanti. 

Mari kita terus melangkah. Melangkah membuka tabir cerita yang menanti. Kita tak pernah tahu cerita apa yang tengah menunggu kita di depan sana. 

Tak perlu merasa buruk. Tak perlu ada kesedihan. Tak perlu ada penyesalan. Tak perlu ada kekhawatiran. Perpisahan adalah hal yang biasa. Kau tahu bukan, bahwa pertemuan selalu datang bersama perpisahan?  

Pertemuan dan perpisahan adalah dua hal yang tak bisa kita pisahkan. Namun, jangan khawatir, sebab perpisahan pun tak pernah datang sendirian. Perpisahan selalu datang bersama suatu pertemuan baru. Entah seperti apa wajah pertemuan itu, yang perlu kita lakukan hanyalah melangkah dan melangkah, hingga kita dapat membuka tirai dari wajah baru pertemuan tersebut. 

Ya, itu benar, bahwa aku selalu menenangkanmu, mengatakan bawah perpisahan ini bukanlah hal yang patut kita tangisi. Hal tersebut bukan karena aku bahagia atas perpisahan ini. Tidak, tak seperti itu. Sebenarnya, maksudku, aku hanya ingin agar kita dapat melewati hari terakhir ini dengan senyum dan tawa kebahagiaan. Sehingga, tak akan ada penyesalan di hari esok. Dan kelak, kala kita saling mengenang, maka segalanya hanya tentang kenangan indah yang membawa senyum kebahagiaan. 

Aku tak ingin mengukir garis akhir dalam lembaran cerita kita dengan kesedihan dan kesakitan. Sebab, di hari esok, kala kita saling mengenang, itu hanya akan membawa kesedihan dan kesakitan pula. Apa yang kita lakukan hari ini tentunya akan memberi hasil di kemudian hari, bukan? 

Maka, mari kita usap mata kita. Mari kita saling memberi sapu tangan terindah. Saling melambaikan sapu tangan kita dengan lambaian kebahagiaan. 



Photo by Nicolas Vaudour on Behance

Hasrat adalah hitam dan putih. Hasrat adalah kemajuan dan kemunduran. Hasrat ada di kiri dan kanan sepatu yang kita kenakan. Hasrat yang melangkah ataukah kaki yang melangkah? Semua ada di dalam pilihan. 

Di setiap tarikan napas, terselip hitam dan putih, hasrat. Di setiap hembusan napas, terselip wajah-wajah hasrat, abu-abu. Meninggalkan bekas penyesalan atau tidak, semua itu ada di dalam pilihan. 

Seperti apakah wajah hasrat? Tangan punya kendali atas bentuk wajah hasrat. Indah ataukah buruk rupa, semua itu ada di dalam pilihan. Seperti apakah darah dari hasrat? Hati punya kendali atas itu. Dan semua itu ada di dalam pilihan. 

Mengarah pada pilihan, taukah kita apa itu pilihan? Sadarkah kita apa itu pilihan? Sudahkah kita menggunakan pilihan itu? Atas dasar sadar ataukah tanpa sadar? Atas pertimbangan pikiran dan hati ataukah tanpa kedua itu? Diri kita ataukah orang lain? 

Pikiran di dalam pikiran adalah hal yang sederhana. Namun, pikiran di dalam realita adalah prahara. Sebab, kita bukan satu-satunya yang memiliki tangan. 

Bisakah kita bernapas dengan kedua tangan kita? Jika tidak, tangan mana yang harus kita pilih? Adakah napas yang tersembunyi di balik tangan itu? 

Kita membuat pilihan. Hasrat turut ikut memberi bisikan. Namun, wajah hasrat mana yang harus kita lihat? Semua itu ada di dalam pilihan. Namun, siapakah yang membuat pilihan tersebut? 

Apapun bentuk wajahnya, hitam atau putih, dan segala warna pilihan, hasrat selalu meninggalkan bingkisan untuk sepatu-sepatu yang melangkah maupun tak melangkah. Hasrat selalu meninggalkan bingkisan untuk perasaan-perasaan yang menanti ataupun tidak. Dan hasrat tahu apa yang ia berikan. Hitam atau putih, elok atau buruk rupa, semua itu kembali pada pilihan yang ia terima. 

 

Aku menulis ini dengan harap kau kan menemukan jiwa yang kuselipkan di dalam tulisan ini. 

Aku berjumpa dengannya di dalam siang. Di dalam malam, aku mendapati kupu-kupu memenuhi ruang perutku. Dan di dalam pagi, siang dan malam mendekap di atas lembaran baru tanpa jumpa dan sapa. 

Masihkah? 

Ia telah mengambil waktuku. Ia menjadi pagi, siang, dan malam. Aku tak punya jalan untuk melarikan diri. Sebenarnya, aku pun belum bersungguh-sungguh untuk melarikan diri. Ia sudah mengambil waktuku, bukankah aku harus mendapatkan waktuku kembali?

Masihkah? 

Pada rekaman jejak lalu, kala indra tak lagi mendapat rasa, maka langkah kan mengambil garis awal. Namun, segalanya telah berbalik dalam garis ini. Padahal waktu telah menua, cukup berumur untuk membuatku melangkah mengambil titik awal. Sayang, ia malah menjamur di dalam darahku. Kilas cerita satu persatu ikut berdenyut di dalam nadiku. Dan ini sungguh membuatku kehilangan akal. 

Masihkah? 

Pada pagi dan malam, aku terbuang di dalam kegelisahan. Ia menjamur di dalam darahku. Telah menjamur. Itu tak baik. Tekad  secara tiba-tiba memacu saraf-saraf yang sekarat. Aku membuka rute baru. Mencuci bersih darahku. Menyuapi pikiran dengan teori-teori yang kurancang. 

Masihkah? 

Tentu saja. Rute baru, teori-teori, dan apapun itu, segalanya membawaku kembali pada titik awal. Ia tetap menjadi pagi, siang, dan malam. Sedang aku semakin terbuang jauh dalam kegelisahan. 

Masihkah? 

Hari-hari berlalu lalang di atas bahuku. Napas semakin berat. Realita nyaris kehilangan wajah. Sayang, aku masih belum mau mengambil resiko. Menurutku ini terlalu riskan. Kata seorang perkata, 'Hidup tak hanya soal satu cerita,' terlalu banyak benang merah yang dapat mengelabui mata. 

Masihkah? 

Tentu saja aku masih di dalam ruang waktu yang sama. Tapi aku punya catatan lalu yang sulit untuk aku lupakan. Bahwa aku pernah melangkah, menolak tuk menonton tangan-tangan yang lupa akan jiwanya. Aku pernah melangkah melepaskan egoku. Aku pernah melangkah dengan kebebasan. Langkah yang aku syukuri, sebab kini langkah lalu itu menjadi rambu kehidupanku. 

Masihkah? 

Aku bertanya padamu. Apakah kau merasakan denyut yang menjalar di dalam pertanyaan itu? 

Masihkah?  

Aku masih memberikan napas di dalam pagi, siang, dan malam. Adakah denyut di dalam nadimu?







 

Jplenio/Pixabay

Aku menatap pada langit sore. Di sana, di ufuk barat aku melihatmu yang pergi bersama mentari meninggalkan bekas warna yang terekam di dalam kenangan. Kehangatan warna yang tertinggal seakan menjadi selimut dalam malam yang hadir membawa dingin, pun hembusan kenangan yang membeku. 

Aku melihat menembus langit malam. Berusaha menemukanmu yang mungkin bersembunyi di antara bintang-bintang yang bersinar. Di dalam pelukan malam, bersama melodi kesunyian yang menari, aku merasakan kehadiranmu. Kau hadir di tengah ruang hati, menyanyikan lagu-lagu kenangan yang merindu.  

Sejujurnya, setiap tarikan dan hembusan napasku adalah dirimu. Kau seakan berubah menjadi atmosfer dalam semestaku. Di setiap langkah kakiku, aku menanam pohon harapan; Mungkin di suatu langkah nanti adalah pintu untuk kehadiran sosokmu. 

Apakah kau pun menantikan langkah itu? Aku bertanya-tanya pada malam, mungkinkah aku satu satunya yang menjadi buta? Entahlah, satu-satunya yang kulihat adalah aku menikmati perjalanan ini. Aku bertanya-tanya seperti apakah wajah akhir dari pohon harapan yang kupupuk. 

Masih di dalam malam. Aku menatap dalam pada mataku di depan cermin. Di dalam mataku, aku masih menemukan sisa-sisa tatapanmu. Tatapan lembut yang menyisir awan keraguan di wajahku. Bahkan hingga kini saat ragamu tak lagi kutemukan, segalanya masih sama. Tak ada satupun keraguan maupun ketakutan yang berhasil mengisi kekosonganmu. 

 


Tangan itu telah hancur. Wajah-wajah berbisik bahwa akulah sang dalang. Sedang ia yang memiliki tangan menghembuskan napas hampa, dan sedetik lagi, mungkin ia kan tiba pada raga hamba tanpa tuan. 

Tak perlulah mengangkat karma dalam kisah yang menjaga napas namun menguapkan raga. Adalah kisah tanpa tokoh. Kisah yang dicampakkan alur. Pula tanpa setting.  

Kisah itu adalah dunia dalam percobaan. Dan karma, bawalah ia pergi pada tangan Tuhan. Jiwa kita terlampau kotor untuk menurunkan kesucian karma. 

Kata-kata terbang menampar hati yang menginginkan. Kupu-kupu kehilangan kesuciannya. Kata mereka, akulah sang dalang. Apa sebab? 

Wajah-wajah kembali berbisik, 'Ia kan menua ditelan gelombang,' ide yang liar. Wajah tak seharusnya berbisik. Kuasa suara mereka telah menelan tekad. Sungguh, hidup yang nekad. 

Adakah yang dapat menemukan alur dalam kisah ini? Atau kisah itu? Entahlah, kita hanya hidup dalam satu kisah yang berenang di dalam wadah. Apa kukata sebelumnya? Langit tak punya warna. Terimakasih kepada pembiasan. Aku pun tak punya warna. Terimakasih kepada pembiasan. Dan pada yang lain? Aku tak punya bisikan, sebab hidup kita adalah apa yang ada pada tangan kita dan perjalanan di dalam kepala kita. Mungkinkah? 

Tangan itu telah hancur. Perasaanku turut hancur dan gelombang pasang membuka dunia baru untuk kisah-kisah yang berduka. Kehilangan tokoh, kehilangan alur, tak punya setting. Gelombang pasang membuka pintu dunia penciptaan. Biarkan kupu-kupu bertebaran di manapun mereka inginkan. Dan tembakan-tembakan tanpa tebakan. 

Ini adalah kisah serius. Aku mengemasnya dengan jiwaku. Maka bacalah dengan jiwamu. Pun ini adalah bagian dari mimpiku. Mungkin pula mimpi-mimpi kalian yang tak sanggup untuk kalian buka.

Pada malam. Dalam gelap. Di bawah binar bintang. Di sana, ada aku dan mimpi. 

Sebuah kisah tanpa kejelasan alur. Sebab itu adalah mimpi. Maka buatlah alur itu. Sesuka hatimu. Bukan sesuka tuan-tuan. 

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • Harapan di Taman Bunga
  • Untukmu, Berhentilah...
  • Reminisensi
  • Riwayat Manis; Ia dan Rembulan
  • Sebelum Semuanya Terlambat

Categories

  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Puisi
Diberdayakan oleh Blogger

Laporkan Penyalahgunaan

Search This Blog

Blog Archive

  • Maret 2025 (1)
  • Februari 2025 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Juni 2023 (1)
  • Mei 2023 (1)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • Oktober 2022 (1)
  • September 2022 (2)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juli 2022 (1)
  • Juni 2022 (3)
  • April 2022 (1)
  • Maret 2022 (1)
  • Februari 2022 (2)
  • Januari 2022 (1)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (1)
  • September 2021 (3)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (5)
  • Juni 2021 (5)
  • Mei 2021 (2)

Social Plugin

Home Contact Us About Us Privacy Policy

Tentang Saya

Foto saya
Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang awam dalam banyak hal. Tidak sedang mengajari siapa-siapa. Hanya menumpahkan apa yang tak sempat diceritakan
Lihat profil lengkapku

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Translate

Copyright © Ichadiass. Designed by OddThemes