Tangan itu telah hancur. Wajah-wajah berbisik bahwa akulah sang dalang. Sedang ia yang memiliki tangan menghembuskan napas hampa, dan sedetik lagi, mungkin ia kan tiba pada raga hamba tanpa tuan.
Tak perlulah mengangkat karma dalam kisah yang menjaga napas namun menguapkan raga. Adalah kisah tanpa tokoh. Kisah yang dicampakkan alur. Pula tanpa setting.
Kisah itu adalah dunia dalam percobaan. Dan karma, bawalah ia pergi pada tangan Tuhan. Jiwa kita terlampau kotor untuk menurunkan kesucian karma.
Kata-kata terbang menampar hati yang menginginkan. Kupu-kupu kehilangan kesuciannya. Kata mereka, akulah sang dalang. Apa sebab?
Wajah-wajah kembali berbisik, 'Ia kan menua ditelan gelombang,' ide yang liar. Wajah tak seharusnya berbisik. Kuasa suara mereka telah menelan tekad. Sungguh, hidup yang nekad.
Adakah yang dapat menemukan alur dalam kisah ini? Atau kisah itu? Entahlah, kita hanya hidup dalam satu kisah yang berenang di dalam wadah. Apa kukata sebelumnya? Langit tak punya warna. Terimakasih kepada pembiasan. Aku pun tak punya warna. Terimakasih kepada pembiasan. Dan pada yang lain? Aku tak punya bisikan, sebab hidup kita adalah apa yang ada pada tangan kita dan perjalanan di dalam kepala kita. Mungkinkah?
Tangan itu telah hancur. Perasaanku turut hancur dan gelombang pasang membuka dunia baru untuk kisah-kisah yang berduka. Kehilangan tokoh, kehilangan alur, tak punya setting. Gelombang pasang membuka pintu dunia penciptaan. Biarkan kupu-kupu bertebaran di manapun mereka inginkan. Dan tembakan-tembakan tanpa tebakan.
Ini adalah kisah serius. Aku mengemasnya dengan jiwaku. Maka bacalah dengan jiwamu. Pun ini adalah bagian dari mimpiku. Mungkin pula mimpi-mimpi kalian yang tak sanggup untuk kalian buka.
Pada malam. Dalam gelap. Di bawah binar bintang. Di sana, ada aku dan mimpi.
Sebuah kisah tanpa kejelasan alur. Sebab itu adalah mimpi. Maka buatlah alur itu. Sesuka hatimu. Bukan sesuka tuan-tuan.