Ichadiass
Ichadiass
  • Home
  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Sitemap
  • Contact Us

 

Image by 愚木混株 Cdd20/Pixabay

Segalanya telah usai. Aku mendapati bayangan telah kembali tepat pada titik 11:11 jam yang berputar. Gelap turun bersama dingin, itu hanya baju semesta. Tak ada kemalangan di dalam gelap dan dingin. Terang membilas kegelapan. Itu pun tiada beda, tak ada kehancuran di dalamnya. Segalanya hanya tentang di mana kita menempatkan fokus pandangan dan itu kan jadi hidup yang kita genggam. 

Akhir dari pertemuan adalah perpisahan, itu kata semesta. Perpisahan adalah akhir cerita dalam satu bagian kehidupan, bukan akhir kehidupan. Tak perlu ada ratapan. Pada jejak lalu kami mengisi waktu dengan kenangan terbaik. Itu luar biasa. Dan itu menjadi perpisahan yang hangat. 

Dalam perpisahan tak ada dua subjek yang terbagi pada sisi protagonis dan antagonis. Itu kataku, sebab aku berangkat dari jejak-jejak yang berbicara, juga fokus pandangan yang kugenggam. Dengan begitu segalanya jadi menyenangkan. Tak ada kepahitan, duka, dan luka. Jika ada kebaikan mengapa harus melihat pada keburukan? 

Ya, ini hanyalah pandangan sebelah mata. Pandangan yang telah membuka kedua mataku pada sisi lain dunia yang belum pernah kujumpai, 11:11. Jika ada kedamaian mengapa harus memilih pada keriuhan? Hidup itu pilihan, bukan? Maka pilihlah bagaimana kalian kan menjalani kehidupan ini. Lihatlah pada arah mana kalian ingin melihat. Entah kebaikan atau keburukan, kedamaian atau hiruk-pikuk, semua ada dalam pilihan. Entah kita yang memilih atau Tuhan yang memilih. 

 


Malam jatuh. Bulan terbuka dalam gelap, menyoroti sosok yang menangis di bawah langit. Ataukah tertawa? Ia dalam pelukan waktu. Ia punya dua sisi wajah, ia yang menangis, pun ia yang tertawa. 

Siapa yang tahu soal ia, yang menangis dan tertawa di bawah langit dalam sorotan roman rembulan, pun pelukan waktu. Ia satu tanpa kesendirian. Pun sendiri dalam kesatuan. Ia sepertinya telah melangkah begitu jauh. 

Menatap apa yang tak ingin ditatap, mengucap apa yang tak ingin terucap, melangkah pada apa yang tak ingin dilangkahi. Kini ia bersama semesta. Tiada lagi sayap-sayap yang menghakimi. 

Itu malang. Namun, ia berkata alangkah menarik ketika tiada malang yang mengambil alih arti hidup. Semua hanya tentang di mana kita menempatkan pandangan. Dan itu akan menjadi riwayat manis. 

Sebab kita hidup di bawah titah waktu. Jadi, sering kulihat ia pergi membuang senyuman pada waktu. Kaki kita terikat pada kaki waktu. Jadi, sering kulihat ia melempar sesembahan di kaki waktu. Oh waktu yang suci, ia pun terhina. Sang waktu. 

Orang-orang mengumpat, sedang singgasana waktu menatap. Sungguh, berdoalah untuk napasmu. Ia tak sendirian di dalam titah waktu. Jaga tawamu. Waktu pun punya cara tuk mengumpat dengan anggun. 

Kurasa dalam sesaat riwayat ini kan temu usai. Kini malam telah bangun. Sang pertiwi telah menyibakan selimut menyapa semesta. Tawa dan tangis telah luput dalam suara yang melagukan riwayat ini. Jadi, kulihat ia yang beriman pelita tengah melangkah melagukan umpatan manis. 

 


Di batas sana, di tengah gelap. Di batas sana, di tengah langit. Jejak batas malam dan rembulan yang menatap padaku. Kutaksir mereka tahu lubuk hatiku. 

Aku merindukan kota-kota semesta di atas sana. Namun, ada batas yang tak bisa kulewati. Padahal aku adalah rembulan di tanah napasku. Aku sang rembulan. 

Di batas itu kisah masih berkasih, dan aku masih sang rembulan di batas malam. Oh di manakah kisah kasih itu? Bintang-bintang mengatakan kisah masih berkasih, tapi entah di mana ia berkasih. Sedang aku tersisih. Mungkinkah? Aku sang rembulan.

Malam telah membangunkan kisah-kisah indah. Tentang mimpi dan harapan. Malam telah membangunkanku, tuk hidup dalam kisahnya. Tentang cita dan cinta. Menghidupkan jiwa yang bebas, sebab malam telah mengukir segalanya. Dan kini aku menjelma menjadi malam. 

Aku masih sang rembulan. Aku pun malam. Menjadi dunia dalam gelap, dan aku punya cahaya untuk cita dan cinta yang tersesat. Bukalah jalan-jalan bersama harap, namun tak menyesatkan. 





@cdd20

Aku berjalan di atas hasrat. Ditunggangi. Kartu pilihan dipertaruhkan. Di antara rute ya dan tidak, aku memohon restu surga untuk dunia. Agaknya ini kan berhasil sebab ada surga di setiap langkahku. Sayang, tak ada pintu yang terbuka. Mungkinkah aku keliru mengambil kunci atau aku yang tak memiliki kunci itu? Namun, aku punya surga, mengapa tak kuasa? 

Itu bergema, berkisar sebagai awal dan akhir. Mula-mula aku menandai roman surga sebagai bentuk kemunafikan, suatu kemunduran, tapi aku hanya semakin melukai langkah-langkahku. Oh, restu surga, angkat kakilah untuk restu dirimu. 

Seakan terbuang. Menjadi sampah Karun, hasrat setiap mata. Itu berat. 

Aku menertawai lakonku, di tengah-tengah mereka. Kehendak. Ditunggangi. Aku sendiri menutup mataku dari napas yang dikehendaki. Di saat malam turun bersama kegelapan, semilir angin malam bersama dingin, bulan bersama bintang-bintang, dan aku sendiri menyembunyikan diri di dalam saku celanaku. 

Setidaknya, saat tak ada apapun di sampingku, aku masih memiliki diriku di dalam saku celanaku. Aku untuk diriku. Dan kala pagi turun, mentari memekik memaki jiwa-jiwa yang menuntut kebebasan atas kehendak. Sedang aku menutup mata dan telinga, 'oh pagi yang cerah, mari mencari santapan pagi.'

Aku untuk diriku. 

 




Di waktu fajar surya hadir bersama kehangatan, dan aku menatap dari balik pintu. Di waktu malam rembulan hadir bersama mimpi, dan aku menatap dari balik pintu. Lalu, di waktu petang, tinggal kerinduan yang saling merindu. Dan aku menutup mata. 

Segalanya adalah kekeliruan, walau ada damai dalam diam. Satu kekeliruan membuat kelu, walau masih ada damai. 

Kita satu di bawah nama harapan, duduk menatap dari balik pintu. Ada kebisingan dalam diam, sebab kerinduan yang saling merindu. Sayang berat hati, ini tak boleh jadi muara.

Suaraku tertahan, sebab aku menahan. Kau ingat bukan, bahwa suaraku yang telah membuka pintu kehangatan kala fajar menyembul? Namun, kau malah menyiulkan kesangsian untukku. Lantas, mengapa aku membuka pintu? 

Kita berpendar dalam permainan. Kau bersama wajah yang bersembunyi, sedang aku bersama wajah yang enggan dalam  abu-abu. Dan di tengah ruang, ego membakar dupa membuka duka. 

Kita sama-sama bermimpi untuk melangkah dalam kehangatan fajar. Aku melangkah untuk diriku, dan kau melangkah untuk dirimu. Padahal seharusnya tak begitu, bukan? 

Hari ini aku bersama pagi, petang, dan malam, membayangi mimpi yang menunggu bayang binar kehangatan datang menjemput. Dan kesabaranku nyaris luruh.

Namun, aku berhenti sejenak, kembali membuka lembar pikiran. Aku riang bergerak di atas pasir harapanku, bukan pasir harapan orang-orang yang berujar, 'Ini yang terbaik untukmu.' Lantas, mungkinkah itu diriku? 

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • Harapan di Taman Bunga
  • Untukmu, Berhentilah...
  • Reminisensi
  • Riwayat Manis; Ia dan Rembulan
  • Sebelum Semuanya Terlambat

Categories

  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Puisi
Diberdayakan oleh Blogger

Laporkan Penyalahgunaan

Search This Blog

Blog Archive

  • Maret 2025 (1)
  • Februari 2025 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Juni 2023 (1)
  • Mei 2023 (1)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • Oktober 2022 (1)
  • September 2022 (2)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juli 2022 (1)
  • Juni 2022 (3)
  • April 2022 (1)
  • Maret 2022 (1)
  • Februari 2022 (2)
  • Januari 2022 (1)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (1)
  • September 2021 (3)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (5)
  • Juni 2021 (5)
  • Mei 2021 (2)

Social Plugin

Home Contact Us About Us Privacy Policy

Tentang Saya

Foto saya
Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang awam dalam banyak hal. Tidak sedang mengajari siapa-siapa. Hanya menumpahkan apa yang tak sempat diceritakan
Lihat profil lengkapku

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Translate

Copyright © Ichadiass. Designed by OddThemes