Ichadiass
Ichadiass
  • Home
  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Sitemap
  • Contact Us

@cdd20

Aku berjalan di atas hasrat. Ditunggangi. Kartu pilihan dipertaruhkan. Di antara rute ya dan tidak, aku memohon restu surga untuk dunia. Agaknya ini kan berhasil sebab ada surga di setiap langkahku. Sayang, tak ada pintu yang terbuka. Mungkinkah aku keliru mengambil kunci atau aku yang tak memiliki kunci itu? Namun, aku punya surga, mengapa tak kuasa? 

Itu bergema, berkisar sebagai awal dan akhir. Mula-mula aku menandai roman surga sebagai bentuk kemunafikan, suatu kemunduran, tapi aku hanya semakin melukai langkah-langkahku. Oh, restu surga, angkat kakilah untuk restu dirimu. 

Seakan terbuang. Menjadi sampah Karun, hasrat setiap mata. Itu berat. 

Aku menertawai lakonku, di tengah-tengah mereka. Kehendak. Ditunggangi. Aku sendiri menutup mataku dari napas yang dikehendaki. Di saat malam turun bersama kegelapan, semilir angin malam bersama dingin, bulan bersama bintang-bintang, dan aku sendiri menyembunyikan diri di dalam saku celanaku. 

Setidaknya, saat tak ada apapun di sampingku, aku masih memiliki diriku di dalam saku celanaku. Aku untuk diriku. Dan kala pagi turun, mentari memekik memaki jiwa-jiwa yang menuntut kebebasan atas kehendak. Sedang aku menutup mata dan telinga, 'oh pagi yang cerah, mari mencari santapan pagi.'

Aku untuk diriku. 

 




Di waktu fajar surya hadir bersama kehangatan, dan aku menatap dari balik pintu. Di waktu malam rembulan hadir bersama mimpi, dan aku menatap dari balik pintu. Lalu, di waktu petang, tinggal kerinduan yang saling merindu. Dan aku menutup mata. 

Segalanya adalah kekeliruan, walau ada damai dalam diam. Satu kekeliruan membuat kelu, walau masih ada damai. 

Kita satu di bawah nama harapan, duduk menatap dari balik pintu. Ada kebisingan dalam diam, sebab kerinduan yang saling merindu. Sayang berat hati, ini tak boleh jadi muara.

Suaraku tertahan, sebab aku menahan. Kau ingat bukan, bahwa suaraku yang telah membuka pintu kehangatan kala fajar menyembul? Namun, kau malah menyiulkan kesangsian untukku. Lantas, mengapa aku membuka pintu? 

Kita berpendar dalam permainan. Kau bersama wajah yang bersembunyi, sedang aku bersama wajah yang enggan dalam  abu-abu. Dan di tengah ruang, ego membakar dupa membuka duka. 

Kita sama-sama bermimpi untuk melangkah dalam kehangatan fajar. Aku melangkah untuk diriku, dan kau melangkah untuk dirimu. Padahal seharusnya tak begitu, bukan? 

Hari ini aku bersama pagi, petang, dan malam, membayangi mimpi yang menunggu bayang binar kehangatan datang menjemput. Dan kesabaranku nyaris luruh.

Namun, aku berhenti sejenak, kembali membuka lembar pikiran. Aku riang bergerak di atas pasir harapanku, bukan pasir harapan orang-orang yang berujar, 'Ini yang terbaik untukmu.' Lantas, mungkinkah itu diriku? 

 

Pixabay @cdd20

Satu kehidupan dalam kematian telah direnggut. Sosoknya berjalan. Lambat. Perlahan. Sesekali berhenti, tunduk dan bersujud. Kehidupan dan kematian tinggal dalam batas abu. 

Satu harapan tumbuh membayangi bayang maya. Harapan. Kosong. Antara hidup dan mati, berwajah biru dalam hening abu-abu. 

Sesekali menghadap pada langit memohon pelukan. Hangat. Bakar kesunyian, tinggal bara sangsi. Mari lanjut kalau tak ada pelukan. Semesta tengah bisu atau telinga tengah menutup diri dari kebisingan. 

Jadi datang lagi sepi. Tinggal diri, semu. Mungkin begitu juga di luar sana. Mereka hanya lincah menutup kekosongan. Hampa. Mereka jua. Setidaknya juang harap tak kosong.

Kendati cerita yang terjebak dalam garis kerutan, mereka ikut menua. Harap, hidup, mati, hak setengah jiwa. Mereka hitam dan putih.

Hanya kehangatan, melingkupi jiwa. Satu harapan yang tumbuh membayangi bayang maya. Berwajah biru bertopeng darah. Hidup tinggal satu, mati pun begitu. Harap dan hangat dalam secangkir teh di hari petang. 

Sosoknya berjalan. Satu kehidupan dalam kematian yang direnggut. Tak lagi tunduk dan bersujud. Cerita yang terjebak dalam kerutan wajah membebaskan diri. Kembali muda. Napas kini sedikit mudah. Kehidupan dan kematian masih dalam batas abu. 

Harap, hidup, dan mati berpencar dalam batas hijau. Belakangan batas kuning masuk ke dalam alur. Lantas sunyi jadi tak berkawan hampa. Napas semakin asik, jadi langkah berkawan waktu. Perlahan, tapi tak lambat. 

Kenyataan menjadi tegas di tiap torehan langkah. Perlahan-lahan. Waktu tak melarikan diri. Ritme hidup tak ada yang sama. Pada wajah biru atau hijau, sendu atau teduh, ritme hidup dan langkah adalah cerita dan waktu. 

Pixabay/cdd20

Suatu pagi yang baru, membawaku tuk benar-benar membuka mataku. Mula-mula ada satu titik buta di sudut pandangku. Namun, lambat laun, titik buta menjelma menjadi titik yang teramat nyata dalam pandanganku. Titik itu memicu debar jantung. Berdebar mengejar napas yang masuk membawa usaha kehidupan. 

Apa yang harus aku lakukan? Seketika pertanyaan itu memenuhi setiap sel di dalam kepalaku. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan? Dalam kondisi ini bukan jawaban yang kudapat, melainkan tamparan keras. 

"Ada ketakutan di balik pertanyaanmu." 

Mataku menerawang jauh, kepala mengangguk secara perlahan sambil menikmati tamparan yang kudapat. Ya, itu benar adanya. Ada ketakutan juga kepanikan yang terselip dalam kesadaranku.

Aku takut jika harus berlutut di hadapan dunia. Aku takut jika dunia akan berpaling dariku. Aku takut jika dunia mencekik napas kehidupanku. Dan aku takut jika pada akhirnya aku harus melangkah tanpa alas kaki di atas jalan dunia ini. 

Ketakutan diam-diam menjadi hantu dalam dasar kesadaranku. Aku tak menyangka, ia berhasil lolos dan berdiam diri dalam alam bawah sadarku. 

Pada titik ini, tak perlu lagi mempertanyakan perkara langkah apa yang harus kuambil. Sebab, itu tak akan mampu menghadirkan waktu yang telah pergi membawa dirinya. Sekeras apa pun usaha yang kulakukan, waktu tak akan pernah kembali. 

Waktu memang tak akan pernah kembali, barang sedetik pun. Namun, waktu tak pergi begitu saja. Di setiap kepergiannya, ia selalu meninggalkan pelajaran berharga. Dan pelajaran itu tak akan pernah nampak jikalau waktu belum melafalkan ayat-ayat perpisahan.

Pada titik ini segalanya menjadi semakin jelas. Pertanyaan 'apa yang harus kulakukan,' telah pupus dalam keinsyafan. Lantas pelajaran apa yang bisa kuambil hadir menggantikan pertanyaan tersebut. 

Terkait waktu, aku akan berusaha dan belajar untuk hidup dalam napasnya. Sebab dengan begitu, aku akan belajar lebih banyak terkait perkara yang tersembunyi di sela-sela kesadaran dan ketidaksadaran. Dan kini, waktu membuka satu kotak rahasia untukku. Bahwasanya, pertemuan selalu datang bersama perpisahan. 

Dapatkah aku mengatakan bahwa tujuan dari pertemuan adalah untuk sebuah perpisahan? Maksudku, dengan begitu kita akan berusaha menghargai setiap detik waktu yang kita lewati bersama orang-orang yang berada di sekitar kita.

Saat kita sadar bahwa perpisahan dapat hadir kapan saja merenggut ruang waktu kita bersama setiap orang yang kita sayangi, aku yakin, setiap orang akan berupaya untuk melewatkan setiap momen itu dengan baik dan bijak. Sehingga saat waktu perpisahan itu tiba, tak akan ada gerutu kesal atau hati yang terluka, melainkan hanya momen-momen bahagia yang menggantung dalam rekam memori kehidupan. 



 


Bagaimana perasaanmu? Aku mendapatimu tengah berdiri menatap senjata yang selama ini kau sembunyikan dalam hatimu. Aku mendengar ledakan tangisan, tapi dari mana tangisan itu? Apa kau menyembunyikan tangisan di dalam hatimu juga? Oh, kutahu, pasti itu sulit bagimu. Sebab ini adalah yang pertama dalam sejarahmu. 

Kau sejauh ini berjas sejarah maha dewa. Aku yakin, kau pasti tak tahu rasanya mengenakan jas yang hampir kehilangan raganya. Dan itu wajar jika kini kau bertingkah menang padahal tengah berlutut. Dalam satu hentakan, ingin aku mengasihi juga menghajarimu. Oh, kasih, namamu telah pupus dalam radar permainan ini. 

Bukalah matamu. Menutup mata hanya semakin membutakan arah pengertian. Buka juga jas maha dewamu itu. Di hadapanku itu hanya semakin menegaskan bahwa kau tak sanggup menggenggam napas kehidupanmu. Aku tak terbuai oleh apa-apa yang kau kenakan, aku menatap lurus pada matamu. Bukalah matamu, dan pejamkan sementara mata-mata yang kau sisipkan di setiap sela raga dan mayamu. 

Bukalah matamu. Ini hanya permainan, bukan pertandingan. Tak ada kemenangan dan kekalahan di sini. Permainan ini hanya sekedar mengajakmu mengekspresikan dirimu, membuatmu berkembang dengan keberanian, dan membuatmu tertawa dengan tangan terbuka. Sekali lagi, tak ada menang dan kalah. Jika kau merasa menemukan menang dan kalah dalam permainan ini, maka itu hanya sekedar proyeksi dari dirimu. 

Bukalah matamu. Di sini semua orang berdiri dalam radar mereka. Tak ada satu atau berapapun orang yang berdiri dalam radarmu. Kau berdiri dalam radarmu. Kau, dan hanya dirimu. Begitu pun diriku juga mereka. Kami berdiri dalam radar yang kami miliki. Segala bentuk kedekatan ini hanya dalam artian raga yang berdiri dan jarak yang mempertegas keberadaan setiap orang. Maka berhentilah bersikap seakan kami berdiri dan hidup dalam radarmu. 

Bagaimana perasaanmu? Kau terlalu keras pada dirimu. Aku tahu bahwa jejak lalumu yang sebenarnya membawamu pada kiblat perasaan dan pemikiranmu. Namun, jejak lalu itu telah hilang ditelan pergerakan alam. Kau kini adalah dirimu yang sekarang, kau berdiri di atas ragamu, bukan jejak lalumu. Jejakmu itu tak berarti apa-apa, ia tak lain hanyalah petunjuk bahwa kau telah melangkah. Jejakmu tak hadir untuk menentukan siapa dirimu di masa kini. Siapa dirimu sekarang ada dalam pilihanmu sekarang. Bukan jejak lalumu. 

Sebenarnya tak masalah kau mengenakan jas maha dewa itu dan segala macam nama yang menghiasimu. Namun, peluk juga dirimu. Biarkan segala bentuk penghargaan itu memelukmu, bukan sebaliknya. Kau hidup untuk dirimu, bukan untuk penghargaan yang kau sembunyikan dalam hatimu. 

Dan untuk yang terakhir kalinya, di sini, kau tak menang juga tak kalah. 


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • Harapan di Taman Bunga
  • Untukmu, Berhentilah...
  • Reminisensi
  • Riwayat Manis; Ia dan Rembulan
  • Sebelum Semuanya Terlambat

Categories

  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Puisi
Diberdayakan oleh Blogger

Laporkan Penyalahgunaan

Search This Blog

Blog Archive

  • Maret 2025 (1)
  • Februari 2025 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Juni 2023 (1)
  • Mei 2023 (1)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • Oktober 2022 (1)
  • September 2022 (2)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juli 2022 (1)
  • Juni 2022 (3)
  • April 2022 (1)
  • Maret 2022 (1)
  • Februari 2022 (2)
  • Januari 2022 (1)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (1)
  • September 2021 (3)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (5)
  • Juni 2021 (5)
  • Mei 2021 (2)

Social Plugin

Home Contact Us About Us Privacy Policy

Tentang Saya

Foto saya
Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang awam dalam banyak hal. Tidak sedang mengajari siapa-siapa. Hanya menumpahkan apa yang tak sempat diceritakan
Lihat profil lengkapku

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Translate

Copyright © Ichadiass. Designed by OddThemes