Ichadiass
Ichadiass
  • Home
  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Sitemap
  • Contact Us

 


Bagaimana perasaanmu? Aku mendapatimu tengah berdiri menatap senjata yang selama ini kau sembunyikan dalam hatimu. Aku mendengar ledakan tangisan, tapi dari mana tangisan itu? Apa kau menyembunyikan tangisan di dalam hatimu juga? Oh, kutahu, pasti itu sulit bagimu. Sebab ini adalah yang pertama dalam sejarahmu. 

Kau sejauh ini berjas sejarah maha dewa. Aku yakin, kau pasti tak tahu rasanya mengenakan jas yang hampir kehilangan raganya. Dan itu wajar jika kini kau bertingkah menang padahal tengah berlutut. Dalam satu hentakan, ingin aku mengasihi juga menghajarimu. Oh, kasih, namamu telah pupus dalam radar permainan ini. 

Bukalah matamu. Menutup mata hanya semakin membutakan arah pengertian. Buka juga jas maha dewamu itu. Di hadapanku itu hanya semakin menegaskan bahwa kau tak sanggup menggenggam napas kehidupanmu. Aku tak terbuai oleh apa-apa yang kau kenakan, aku menatap lurus pada matamu. Bukalah matamu, dan pejamkan sementara mata-mata yang kau sisipkan di setiap sela raga dan mayamu. 

Bukalah matamu. Ini hanya permainan, bukan pertandingan. Tak ada kemenangan dan kekalahan di sini. Permainan ini hanya sekedar mengajakmu mengekspresikan dirimu, membuatmu berkembang dengan keberanian, dan membuatmu tertawa dengan tangan terbuka. Sekali lagi, tak ada menang dan kalah. Jika kau merasa menemukan menang dan kalah dalam permainan ini, maka itu hanya sekedar proyeksi dari dirimu. 

Bukalah matamu. Di sini semua orang berdiri dalam radar mereka. Tak ada satu atau berapapun orang yang berdiri dalam radarmu. Kau berdiri dalam radarmu. Kau, dan hanya dirimu. Begitu pun diriku juga mereka. Kami berdiri dalam radar yang kami miliki. Segala bentuk kedekatan ini hanya dalam artian raga yang berdiri dan jarak yang mempertegas keberadaan setiap orang. Maka berhentilah bersikap seakan kami berdiri dan hidup dalam radarmu. 

Bagaimana perasaanmu? Kau terlalu keras pada dirimu. Aku tahu bahwa jejak lalumu yang sebenarnya membawamu pada kiblat perasaan dan pemikiranmu. Namun, jejak lalu itu telah hilang ditelan pergerakan alam. Kau kini adalah dirimu yang sekarang, kau berdiri di atas ragamu, bukan jejak lalumu. Jejakmu itu tak berarti apa-apa, ia tak lain hanyalah petunjuk bahwa kau telah melangkah. Jejakmu tak hadir untuk menentukan siapa dirimu di masa kini. Siapa dirimu sekarang ada dalam pilihanmu sekarang. Bukan jejak lalumu. 

Sebenarnya tak masalah kau mengenakan jas maha dewa itu dan segala macam nama yang menghiasimu. Namun, peluk juga dirimu. Biarkan segala bentuk penghargaan itu memelukmu, bukan sebaliknya. Kau hidup untuk dirimu, bukan untuk penghargaan yang kau sembunyikan dalam hatimu. 

Dan untuk yang terakhir kalinya, di sini, kau tak menang juga tak kalah. 


 


Petang telah tiba. Sebentar lagi malam kan turun dari peraduannya. Ini sudah waktunya untuk menutup gerbang dan pintu yang menyembunyikan ruang di dalamnya. Ruang akal, ruang jiwa, ruang mata, ruang telinga, ruang rasa, begitu pula dengan ruang-mu. Semuanya harus segera menggenggam induk kunci, sebelum malam turun bersama gelapanya. Sebelum aku menjatuhkan tangan tuk menerka memicu rekah tanpa arah. Ini yang terbaik. 

Padahal malam belum benar-benar beranjak dari peraduannya, tapi gelap perlahan nampak menyelimuti kenangan yang menggantung di sudut-sudut ruang hati. Separuh diri jadi gundah, pikiran dengan cekatan melafalkan ayat-ayat penerang, menyiraminya dengan mimpi dan cita-cita. 'Kau masih amat belia, biarlah perasaan dan harapan menguap menjadi uap kesadaran.'

Ya, ini masih amat belia. Di luar sana langit petang masih terbentang megah. Bersama awan yang berjalan penuh ketabahan, dalam gerak pasti, petang kan tenggelam tatkala langit malam beranjak pasang. Malam pun bukan akhir dari suatu perjalanan, masih ada fajar yang kan hadir membawa langkah baru. Begitu pula dengan semua pintu ruang yang kututup. Aku menutup untuk menyingkap ruang baru lainnya.

'Akhir' hanyalah sebuah kata yang dibubuhi sayap ketakutan untuk membunuh kelahiran langkah-langkah baru. Akhir tak pernah benar-benar eksis dalam napas yang kita hirup. Pikiran kitalah yang memainkan peran kehidupan 'akhir' itu. 

Maka, mari kita menghitung mundur. Tak lama lagi malam kan duduk di kursi kebesarannya. Bersama bintang dan rembulan yang turut mewarnai gelapnya malam. Aku suka menonton atraksi di langit malam. Kupikir tak masalah jika aku sejenak membuka jendela dunia ini, agar mata kian akrab dengan langit malam. 



 


Aku mendengarkan lagu itu berulang-ulang, pesan dari lagu itu pun secara beruntun terserap ke dalam perhatianku. 'Aku menyukaimu, tak ada alasan lain, karena aku menyukaimu.' Sepenggal bait dalam lagu 'Cause I Like You' itu telah melahirkan sebuah Kontradiksi.

Sejujurnya kau bukanlah sosok yang aku rindukan. Aku tak pernah sedikit pun memimpikan kehadiranmu dalam ruang pribadiku. Ini membingungkan. Kontradiksi, kata itu membayangiku hampir di setiap kelengahan napasku. 

Lagu itu tidak lagi terdengar. Aku tak tahu apa alasannya, mungkinkah frekuensi pemutaran yang berulang telah menutup nuansa dalam lagu itu sehingga perlahan-lahan lagu itu pun luput dari indraku? Entahlah, aku bahkan tak tahu siapa gerangan yang memutar lagu itu. 

'Tak ada satupun nuansa yang hilang, ia pergi sebab tujuan kehadirannya telah memberikan arti padamu. Kau telah menerima apa yang ingin ia berikan padamu.' 

Kata-kata tak bertuan. Kata-kata itu secara tiba-tiba bersuara di dalam benakku. Seakan memberi jawaban untuk mematahkan usaha perlawananku. Namun, kontradiksi, segalanya masih terasa sebagai suatu kontradiksi bagiku. 

Bagai perputaran siang dan malam yang selalu datang bergantian, begitu pun kisah ini. Lagu itu kini digantikan sebuah buku kesukaanku yang hadir di hadapanku. Aku mengambil buku itu, 'Manuskrip yang Ditemukan di Accra.' Aku membukanya secara acak dan tulisan itu muncul di hadapanku, 'Cinta adalah keyakinan, bukan pertukaran,' 'Kita mencintai karena kita butuh mencintai.' 

'Apa lagi yang kau inginkan?' suara itu kembali terdengar di dalam benakku. 

Seulas senyuman mengembang di wajahku. Tatapanku menerawang jauh ke dalam kabut di tengah perapian. 'Haruskah aku menertawai situasi ini?' Aku bertanya-tanya dalam benakku. Aku tahu, walaupun hati dan kepalaku pada akhirnya mendapat benang merah di tengah kontradiksi yang aku bangun tapi, apakah sesederhana itu akhir dari semua alur ini? 

Bukankah hidup memang seperti itu? Seakan ada yang memberi penerang di dalam kepalaku, momen eureka itu akhirnya kudapatkan. 'Bagaimana bisa aku melupakan hal itu?' Aku kembali membatin mempertanyakan kesadaranku. Hidup memang begitu adanya. Kehidupan adalah cerminan dari pemikiran, apa yang kau pikirkan maka itulah yang kehidupan berikan padamu.

Aku selalu percaya bahwa hidup adalah sebuah keajaiban, setiap detik yang berlalu selalu membawa keajaiban-keajaiban kecil maupun besar. Aku pun percaya bahwa hidup sebenarnya simpel, sederhana, pikiran kitalah yang membuat segalanya terasa rumit. 

Dalam perjalananku, kehidupan memberikan padaku apa-apa yang sejalan dengan kepercayaanku padanya. Aku tak lagi ingin memperumit segala hal. Dan untuk dirimu, kau adalah keajaiban kecil yang kehidupan berikan untukku. Walau dalam jalan yang kutempuh aku sempat melihatmu sebagai sebuah kontradiktif, tapi kini aku paham. Ego telah menyihir indraku agar luput dari suara kehidupan.

Kontradiksi itu hadir dari pemikiran yang kubangun. Ego pun turut campur memperumit kisah ini. Padahal segalanya begitu sederhana, seperti yang tertulis dalam tulisan Paulo Coelho dalam bukunya yang berjudul Manuskrip yang Ditemukan di Accra, 'Cinta adalah keyakinan, bukan pertukaran,' dan 'Kita mencintai karena kita butuh mencintai. Kalau tidak, cinta kehilangan seluruh maknanya dan matahari pun berhenti bersinar.'




Langit pagi ini tengah tertawa, nampak berseri sedang seseorang di bawahnya tengah berupaya membatinkan langkah kakinya dengan kecut. Hawa di seputarnya begitu gelap, pekat, sehingga ia tak perlu bersusah payah menguras tenaga di balik jubah yang ia kenakan. Matanya tak berkedip, ia kelewat gamang jika di depan sana ia tersesat dalam kemuraman napasnya tanpa ada sirkulasi waktu. Menyedihkan! Ia hidup dalam ketakutan hingga akhirnya selalu menakut-nakuti kehidupan orang lain. 

Walau semestanya adalah kegelapan dan kemuraman, tak ada satu pun mata yang dapat menilik akan hal itu, hanya Langit satu-satunya yang tak akan pernah bisa ia perdaya. Betapa malang orang-orang itu, mereka terperesok, terjerat dalam jeratannya, tak ada jalan keluar sebab hanya Langit yang tahu. 

Sebenarnya tak begitu pelik untuk keluar dari jeratanya. Orang-orang itu, mereka hanya perlu kembali masuk ke dalam napas mereka, bercakap bersama diri mereka, bersenang-senang bersama diri mereka, dan mencintai diri mereka. Tak begitu pelik, memang, ya, tak begitu pelik, tapi ia mendapat Ilham di dalam kepalanya. Ia dapat memperdaya kelapangan menjadi kelaparan, ia bahkan masuk tuk menjadi pemeran utama dalam kehidupan orang-orang itu. 

Tak semestinya ia menjadi pemeran utama dalam kehidupan mereka, sebab setiap insan adalah pemeran utama dalam kehidupan mereka. Dan jika posisi itu telah hilang dari tangan mereka, tak akan ada lagi kontrol dalam setiap denyut mereka. Perlahan-lahan tapi pasti mereka akan lupa akan napas mereka. Mereka hanya diperdaya olehnya, sehingga mereka hanya melangkah di laluan yang telah ia persiapkan. Melangkah, melintas, sembari menabur benih hingga laluan itu menjadi taburan bunga untuknya. Hanya untuknya seorang. 

Segalanya menyedihkan. Seharusnya tak pantas aku menaruh rasa pilu atasnya, tapi segalanya terlampau miris untuk disaksikan. Bunga-bunga itu tak akan pernah memberikan nilai apa pun dalam napasnya. Ia pun tak ada bedanya dengan orang-orang yang ia perdaya. Sebab ia hidup dan terperdaya oleh kemuraman dan kegelapan yang menemaninya. 

Langkah kaki yang ia sembunyikan memang tersembunyi, namun itu terabadikan dalam keabadian langit. Dan siapa pun dapat melihat itu jika saja mereka mau sedikit menengok pada Langit. Langit tak akan menyembunyikan apa pun dari siapa pun yang menggenggam ketulusan di ke dua tangannya. Lihatlah pada Langit dan kau akan tahu kesedihan dan ketakutan apa yang ia sembunyikan di setiap langkah kakinya. 



 


Aku tersadar dari tidurku untuk kesekian kalinya. Mimpiku direnggut paksa agar aku tersadar. 'Selamat malam dunia,' ini bukan masa yang pas bagiku tuk membuka mata dan mengikat fokus. Ini terlalu cepat, sehingga membuatku teramat sigap. 'Sebelum semuanya terlambat,' aku mendengar suara dalam kepalaku. Yah, tak salah juga. Bisa jadi esok aku akan merasa sedikit pening. 

Waktu masih menunjukkan pukul 00.01. berapa umurku? tidak, jam itu belum berumur selayaknya usiaku. Tanda waktu menyiratkan pukul dini hari, dan aku berumur pagi hari. Agaknya itu usia yang pas untuk sarapan, olahbudi, dan olahsukma. Ah, tapi ardi di dekatku masih terlampau dingin, hening. Hampa, tak ada siapapun. Sepertinya akan terasa penat jika aku bersikeras mencari sejawat di waktu seperti ini, dan bisa saja itu pun akan terasa dilematis bagi mereka demi menahan kantuk hanya untuk menemani diriku. Memangnya siapa diriku bagi mereka?

Aku tak punya tanggapan untuk perkara itu, siapa diriku bagi mereka? Aku tak sanggup menaksir aksara apa yang tergores dan disembunyikan jauh di dalam lubang-lubang sanubari yang bahkan tak bisa kutatap dengan mata telanjang. Mereka harus menelanjangi perasaan mereka terlebih dulu, biar aku sanggup menatap apa yang mereka kemas di balik jubah perasaan yang mereka kenakan. Namun, itu berarti langit akan semakin membiru di atas kepalaku. Biru, warna yang menggubah segalanya menjadi melelahkan. 

Tapi kupikir biru itu akan tampak elok tatkala aku mengalihkan sedikit haluaan saat pikiranku melihat, mengamati, dan membaca dunia. Aku butuh dua mata, bukan sebelah mata agar tak ada bias. Aku butuh kesabaran, seiring waktu tiba bersama surat yang Semesta titipkan. Surat-surat itu akan membuatku semakin terjaga, mengelus dada, dan bersujud di bawah kaki Langit yang kaku. 

Langit sungguh begitu kaku, fajar masih terlampau jauh dari ufuk timur, dan Langit tak memberi kerelaan agar fajar tiba sedikit lebih cepat. Aku agak kewalahan dengan kesendirian di sini, pintu-pintu masih terkunci rapat. Orang-orang itu sungguh! Mereka tak memberiku kunci pintu mereka, padahal kunci pintuku ada di tangan mereka, dijadikan cincin dan kalung. 

Aku semestinya membuat pintu baru, nurani tengah tak damai. Orang-orang hidup kala meminta tanganku, tapi mati di sampingku persis ketika aku baru merenung untuk meminta tangan mereka. Pembual! 

Waktuku akan tiba sesaat lagi, tak perlu kusut begitu, aku akan mengirimkan potret waktuku yang pernah kalian sumpahi. Sebelum semuanya terlambat. 



Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • Harapan di Taman Bunga
  • Untukmu, Berhentilah...
  • Reminisensi
  • Riwayat Manis; Ia dan Rembulan
  • Sebelum Semuanya Terlambat

Categories

  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Puisi
Diberdayakan oleh Blogger

Laporkan Penyalahgunaan

Search This Blog

Blog Archive

  • Maret 2025 (1)
  • Februari 2025 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Juni 2023 (1)
  • Mei 2023 (1)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • Oktober 2022 (1)
  • September 2022 (2)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juli 2022 (1)
  • Juni 2022 (3)
  • April 2022 (1)
  • Maret 2022 (1)
  • Februari 2022 (2)
  • Januari 2022 (1)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (1)
  • September 2021 (3)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (5)
  • Juni 2021 (5)
  • Mei 2021 (2)

Social Plugin

Home Contact Us About Us Privacy Policy

Tentang Saya

Foto saya
Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang awam dalam banyak hal. Tidak sedang mengajari siapa-siapa. Hanya menumpahkan apa yang tak sempat diceritakan
Lihat profil lengkapku

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Translate

Copyright © Ichadiass. Designed by OddThemes