Petang telah tiba. Sebentar lagi malam kan turun dari peraduannya. Ini sudah waktunya untuk menutup gerbang dan pintu yang menyembunyikan ruang di dalamnya. Ruang akal, ruang jiwa, ruang mata, ruang telinga, ruang rasa, begitu pula dengan ruang-mu. Semuanya harus segera menggenggam induk kunci, sebelum malam turun bersama gelapanya. Sebelum aku menjatuhkan tangan tuk menerka memicu rekah tanpa arah. Ini yang terbaik.
Padahal malam belum benar-benar beranjak dari peraduannya, tapi gelap perlahan nampak menyelimuti kenangan yang menggantung di sudut-sudut ruang hati. Separuh diri jadi gundah, pikiran dengan cekatan melafalkan ayat-ayat penerang, menyiraminya dengan mimpi dan cita-cita. 'Kau masih amat belia, biarlah perasaan dan harapan menguap menjadi uap kesadaran.'
Ya, ini masih amat belia. Di luar sana langit petang masih terbentang megah. Bersama awan yang berjalan penuh ketabahan, dalam gerak pasti, petang kan tenggelam tatkala langit malam beranjak pasang. Malam pun bukan akhir dari suatu perjalanan, masih ada fajar yang kan hadir membawa langkah baru. Begitu pula dengan semua pintu ruang yang kututup. Aku menutup untuk menyingkap ruang baru lainnya.
'Akhir' hanyalah sebuah kata yang dibubuhi sayap ketakutan untuk membunuh kelahiran langkah-langkah baru. Akhir tak pernah benar-benar eksis dalam napas yang kita hirup. Pikiran kitalah yang memainkan peran kehidupan 'akhir' itu.
Maka, mari kita menghitung mundur. Tak lama lagi malam kan duduk di kursi kebesarannya. Bersama bintang dan rembulan yang turut mewarnai gelapnya malam. Aku suka menonton atraksi di langit malam. Kupikir tak masalah jika aku sejenak membuka jendela dunia ini, agar mata kian akrab dengan langit malam.