Ichadiass
Ichadiass
  • Home
  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Sitemap
  • Contact Us

 


Ini adalah sepenggal riwayat yang sengajaku sembunyikan. Aku terlalu asing untuk memeluk emosi-emosi yang meluap. Sebab itu, terimalah catatan kecil ini. 

~

Aku masih mengenal bayangan di ujung jalan itu. Kau tak perlu repot-repot berpura-pura menutup dirimu. Maksudku, kau masih hidup dalam setiap tarikan napasku. Sebab kau adalah sepenggal riwayat yang hilang dalam naskah kehidupanku. 

Aku mengembara. Hampir setiap tempat telah hidup dalam relung ingatanku. Setiap air wajah manusia telah kubaca. Aku pun melihat, mengamati, dan masuk ke dalam lakon kehidupan orang-orang yang berjabat tangan denganku. Dan aku tak menemukanmu. 

Aku mengembara. Dalam langkah-langkah yang berat. Panas dan dingin hari silih berganti memeluk diriku. Namun, itu tak begitu mengusik langkahku. Sebab namamu hidup dalam sanubariku, dan itu memberikan kehangatan di tengah dinginnya hari dan kesejukan di tengah teriknya mentari. Kau adalah dasar dari setiap langkahku. Namun, aku masih belum menemukanmu. Kau masih hilang dalam penglihatanku. 

Aku kembali mengembara. Mencoba setiap lakon kehidupan dengan seribu topeng. Jiwaku seakan hidup dan mati, lelah. Terkadang aku lupa seperti apa roman asliku terlihat, sebab aku hidup dalam pertunjukan bersama seribu topeng. Dan aku tetap tak menemukan kehadiran wujudmu. 

Sesekali dalam hidup dan mati jiwa yang kugenggam, aku berpikir untuk memberi tanda titik pada cerita pengembaraanku. Namun kau masih hidup dalam napas yang kuhirup. aku merasakan kehadiranmu, begitu nyata. Seketika aku menoreh tanda koma dalam cerita ini untuk sejenak menutup mata. Bahkan dalam perasaan yang begitu nyata, aku tetap tak menemukan kehadiranmu. Kau tetap sebuah Maya yang semesta kirimkan untukku. 

Kau adalah sepenggal cerita yang hilang dalam naskah kehidupanku. Kau adalah dasar utama pengembaraan yang kulalui. Aku mencarimu dalam siang dan malam. Aku mencarimu di tengah panas dan dingin. Aku mencarimu di antara hidup dan mati. Dan apakah kau tetap ingin hidup sebagai bayangan yang menatapku dari ujung jalan itu? 

Kaluarlah dari pintu maya itu. Semesta telah membuka jalan pertemuan ini. Kemarilah, marilah kita merasakan kehangatan teh di ujung ufuk barat sana. 


 

Dalam gelap yang pekat, satu tangan mencuat membawa cahaya. Aku terpaku pada kehadirannya, mengamati dan menyelidiki, padahal jauh di ujung sanubari tanganku menangis ingin menggapai uluran tangan itu. Namun, terlalu banyak penipu ulung di sini, sekelilingku pun tak tampak apa pun, melainkan kegelapan yang pekat. Aku melangkah dan bernapas dengan perasaan yang berubah-ubah. Sekarang terlalu riskan untuk membayangi perasaan, aku sekedar berpijak menatap di balik gelap menggenggam arloji yang tenggelam dalam genggamanku. 

Aku masih menatap kehadiran tangan itu, beserta cahaya yang membayanginya. Segalanya masih sama, tak ada yang berubah, sekelilingku masih terasa dingin yang amat menyengat. Ini membuatku curiga, sebab cahaya kerap hadir bersama kehangatan. Namun, aku tak merasakan kehangatan itu. Apakah ini ulah gempuran dingin yang tak kenal ampun, sehingga tak ada kehangatan yang lolos dalam ranah yang ia menangkan? 

Entahlah, merenungkan pelancongan ke depan hanya membuatku semakin terbenam dalam kegelapan yang semakin dingin. Terlalu banyak teka-teki di dunia ini, dunia adalah lintasan penuh ketidakpastian, dan aku tak ingin terjerembab dalam jebakan itu. Untuk melintas di atas lintasan ketidakpastian, aku butuh pemikiran pasti yang tak goyah bahkan oleh kicauan kosong yang menyaksikan dunia sebagai orbit abadi. 

Ini terlampau pelik. Hatiku termakan suasana. Tanganku yang bersembunyi di ujung hati semakin meratap meronta ingin memerdekakan diri dari genggamanku. Saat aku terbelit dalam situasi seperti ini, aku selalu mengenang Langit. Ia membentang luas di atas sana, terlampau tinggi, sehingga tak ada yang dapat memberikan sentuhan. 

Guruku, dialah yang mengajariku akan keajaiban yang disembunyikan oleh Langit. "Tengoklah pada Langit. Langit adalah jawaban atas kebesaran-Nya. Saat kau dilanda kesulitan tengoklah kepalamu ke atas, telik baik-baik, dan kau akan menemukan jawaban yang kau cari. Sebab ada berjuta rahasia di atas sana, Langit selalu memberi petunjuk kepada siapapun yang dengan sungguh-sungguh melihat kepada kebesaran-Nya." 

Aku mendongak pada Langit. Di atas sana, malam telah membawa kegelapan beserta hawa dingin sebagai selimut bagi Langit. Namun, itu tak lantas membuat langit hilang ditelan gelap dan dingin yang malam hadirkan. Langit masih memiliki bintang juga bulan yang memancarkan cahaya sebagai bentuk petunjuk bagi mereka yang mencari kehadiran-Nya. Langit menghadirkan cahaya itu bukan untuk dirinya, melainkan Ia persembahkan untuk para pencari cahaya yang tersesat. Langit menghadirkan cahaya agar para pencari cahaya yang tersesat dapat mengetahui bahwa Ia ada bahkan di tengah kegelapan yang pekat. Ia ada, dan Ia selalu hadir membawa dan memberikan cahaya penerang sebagai bentuk kehangatan yang sesungguhnya. 



Dia memonopoli segalanya. Ternyata semua ini masih berada dalam garis abu abu. Dan aku terjebak dalam dunia yang enggan berputar. Sebab aku terlampau sibuk mengamati setiap detail langkahku dan lupa tuk menoleh, menelaah markah Semesta. Kurasa aku kembali menjadi buta. 

Di saat-saat ini, segala hal menjadi bias, segala fokus seperti tersesat dalam perjalanan ruang dan waktu, dan aku tergeletak mematung mendengarkan sumpah serapah. Entah siapa yang menyumpahiku yang kutahu semesta menertawai diriku. 

"Ia telah kembali," langit berbisik padaku.

"Itukah dirimu yang tengah bersembunyi?" Aku bertanya dalam hati tak menanti jawaban. 

Ah, ini sungguh melelahkan, aku berpaling pada langit berharap ia dapat beranjak menyibak kegelapan semesta. Setidaknya, agar kegelapan semesta dapat menghujani kegelapan napas yang kuhirup. Terlalu pelik sampai-sampai aku merasa seakan hidup tanpa akhir riwayat yang dijanjikan. Tak ada surga juga neraka. Segalanya hanya tentang aku dan dunia yang enggan berputar. 

Aku merasakannya, ia duduk di hadapanku tersenyum dengan sebilah pisau di balik senyumannya mengamati setiap detail untuk dijadikan senjata. Untungnya kutukan itu telah lama hilang, sehingga aku tak perlu mengernyitkan dahi. 

"Ternyata kau masih menilikku," batinku. 

Kali ini aku tak akan melambaikan sapu tangan padamu. Rona wajahku tak lagi sama. Dan setelah mengarungi pengembaraan waktu yang nian panjang, aku akan tetap duduk dihadapanmu dengan kaca mata yang diilhami langit untukku, menanti hingga dunia kembali berputar. 









Aku menemukannya. Jejak langkah itu, yang tersisa di ujung harapan. Darah, keringat, dan air mata yang kuhabiskan tak sia-sia, mereka membuka jalan untuk sisa-sisa langkah yang hampir kulepaskan. Dan kini aku memijak jejak itu, selangkah demi selangkah hingga jejak itu menyatu dalam langkahku. 

Aku tak membuka harapan pun tak menutup harapan. Aku hanya membiarkan langit bermain dengan kisahku. Hanya langit, dan cukup bagi langit. Kau tahu, ini sebab aku percaya bahwa langit tak akan pernah mempermainkan kepercayaan yang telah diberikan untuknya. Langit adalah langit, lain halnya jika kau memberikan kepercayaan itu kepada rakyat dunia. Begini, aku tahu bahwa segala isi dunia adalah hasil dari tangan Pencipta Mahabesar juga Sempurna. Namun, jangan kau terkecoh, sang Pencipta tak akan membuat hasil karya yang malah menyandingi-Nya, bukan? Kau tak akan menemukan kesempurnaan di dunia ini.

Maka dari itu, aku tak berlutut pada dunia. Aku hanya membiarkan semua berkisar dalam kelaziman langit. Dan untuk jejak langkah yang kutemukan, waktu telah beredar membawaku memijak jejak itu. Aku beriringan dengan jejak itu dalam tiga pijakan dan perputaran surya atas adat semesta. Itu selayaknya hanya satu hari terhitung semenjak aku membuka mata dan memijaki jejak langkah itu. Dan kini segalanya menjadi satu dalam pemikiran. 

Pada sisa waktu yang tengah menunggu, aku ingin memohon, hidupkanlah jejak itu untuk langkahku. Jika itu memang milikku. 





Ia hadir dalam langkah kaki dan tangan yang bersicepat. Dan aku, bidikan yang membuatnya tergesa-gesa. Langkahnya mulai mendekat, tapi aku hanya sanggup menatap siluetnya. Dalam jarak yang semakin terpenggal, ia memuntahkan suara yang dapat menyeret siapapun dalam radius keserakahan. 

Tubuhku mati. Namun, mataku masih terbuka memperhatikan permainan yang ia lakukan di balik kematian. Aku hidup dalam tubuh yang mati, dan ia kini berada tepat di depan mataku, menatap dengan tajam lantas merampas setiap napas yang kuhembuskan. Aku menjerit memohon sambung tangan pada apa pun yang memperhitungkan suaraku. Namun, itu sia-sia sebab suaraku serta-merta sirna dilahap keheningan. 

Ini kejam. setidaknya biarkan aku memejamkan mataku. Biarkan aku mati dalam artian yang sesungguhnya. Oh, dalam situasi ini, aku teringat pada Tuhan. Aku memuji nama-Nya sebanyak yang kumampu, aku berdoa pada-Nya melalui tatapan mataku yang tetap hidup dalam tubuh yang mati. Aku berdoa, berdoa setengah mati. 

Siluet itu, ia tertawa, suaranya menggelegar dan tubuhku semakin mati dibuatnya. Aku bertanya-tanya, alibi apa yang ia pegang hingga membabi buta seperti ini di hadapanku. Dan satu-satunya hal bernilai yang aku sadari selama ini hanyalah satu, diriku. Namun, aku tak merasakan hasrat buas dalam napasnya untuk menjarah diriku, tak ada sama sekali. Kematian tubuhku hanyalah permainan baginya. 

Oh Tuhan, dalam kondisi ini akhirnya aku tahu bagaimana rasanya merindukan suatu mukjizat dari tangan-Mu. Aku pun tahu rasanya perasaan orang-orang yang mempertanyakan eksistensi Tuhan di saat-saat krisis. Namun, aku tak sampai mempertanyakan eksistensi Tuhan. Maksudku, harus senaif itukah diriku? Tuhan selalu punya kiat-kiat yang jauh dari ancangan budi sempit manusia. Lagi pula kita sudah diberikan akal oleh tuhan dan kurasa itu cukup untuk melakoni hidup.

Tak kusangka, lamunanku memberikan sececah kegetiran baginya. Tak ada lagi suara tawa yang menggelegar, suara kepuasan, ataupun suara kekejaman. Yang kutangkap sekarang hanyalah pekikan kekesalan sebab mataku hanya mematung, tak merefleksikan sedikit pun emosi yang ia dambakan. 

Alhasil, kini aku tahu kunci mimpi buruk ini. Ya, terkaanku telak. Ia sekedar hendak bergurau dan letupan emosiku adalah kenikmatan baginya. Ia hanya ingin emosi yang meletup, sehingga ia dapat tertawa dan menyangka bahwa ia bahagia. Bukankah ia lebih naif? Kebahagian atas penderitaan tak akan pernah kekal sebab tak ada satu pun penderitaan yang kekal. 

Dan lagi-lagi aku tepat. Tuhan selalu punya taktik yang jauh dari ancangan budi sempit manusia. Dalam situasi ini tanpa aku sadari, tenggelam dalam mantik tentang Tuhan malah meluputkanku dari keserakahan dan intensinya tuk bahagia. 

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • Harapan di Taman Bunga
  • Untukmu, Berhentilah...
  • Reminisensi
  • Riwayat Manis; Ia dan Rembulan
  • Sebelum Semuanya Terlambat

Categories

  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Puisi
Diberdayakan oleh Blogger

Laporkan Penyalahgunaan

Search This Blog

Blog Archive

  • Maret 2025 (1)
  • Februari 2025 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Juni 2023 (1)
  • Mei 2023 (1)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • Oktober 2022 (1)
  • September 2022 (2)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juli 2022 (1)
  • Juni 2022 (3)
  • April 2022 (1)
  • Maret 2022 (1)
  • Februari 2022 (2)
  • Januari 2022 (1)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (1)
  • September 2021 (3)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (5)
  • Juni 2021 (5)
  • Mei 2021 (2)

Social Plugin

Home Contact Us About Us Privacy Policy

Tentang Saya

Foto saya
Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang awam dalam banyak hal. Tidak sedang mengajari siapa-siapa. Hanya menumpahkan apa yang tak sempat diceritakan
Lihat profil lengkapku

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Translate

Copyright © Ichadiass. Designed by OddThemes