Ichadiass
Ichadiass
  • Home
  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Sitemap
  • Contact Us



Aku menemukannya. Jejak langkah itu, yang tersisa di ujung harapan. Darah, keringat, dan air mata yang kuhabiskan tak sia-sia, mereka membuka jalan untuk sisa-sisa langkah yang hampir kulepaskan. Dan kini aku memijak jejak itu, selangkah demi selangkah hingga jejak itu menyatu dalam langkahku. 

Aku tak membuka harapan pun tak menutup harapan. Aku hanya membiarkan langit bermain dengan kisahku. Hanya langit, dan cukup bagi langit. Kau tahu, ini sebab aku percaya bahwa langit tak akan pernah mempermainkan kepercayaan yang telah diberikan untuknya. Langit adalah langit, lain halnya jika kau memberikan kepercayaan itu kepada rakyat dunia. Begini, aku tahu bahwa segala isi dunia adalah hasil dari tangan Pencipta Mahabesar juga Sempurna. Namun, jangan kau terkecoh, sang Pencipta tak akan membuat hasil karya yang malah menyandingi-Nya, bukan? Kau tak akan menemukan kesempurnaan di dunia ini.

Maka dari itu, aku tak berlutut pada dunia. Aku hanya membiarkan semua berkisar dalam kelaziman langit. Dan untuk jejak langkah yang kutemukan, waktu telah beredar membawaku memijak jejak itu. Aku beriringan dengan jejak itu dalam tiga pijakan dan perputaran surya atas adat semesta. Itu selayaknya hanya satu hari terhitung semenjak aku membuka mata dan memijaki jejak langkah itu. Dan kini segalanya menjadi satu dalam pemikiran. 

Pada sisa waktu yang tengah menunggu, aku ingin memohon, hidupkanlah jejak itu untuk langkahku. Jika itu memang milikku. 





Ia hadir dalam langkah kaki dan tangan yang bersicepat. Dan aku, bidikan yang membuatnya tergesa-gesa. Langkahnya mulai mendekat, tapi aku hanya sanggup menatap siluetnya. Dalam jarak yang semakin terpenggal, ia memuntahkan suara yang dapat menyeret siapapun dalam radius keserakahan. 

Tubuhku mati. Namun, mataku masih terbuka memperhatikan permainan yang ia lakukan di balik kematian. Aku hidup dalam tubuh yang mati, dan ia kini berada tepat di depan mataku, menatap dengan tajam lantas merampas setiap napas yang kuhembuskan. Aku menjerit memohon sambung tangan pada apa pun yang memperhitungkan suaraku. Namun, itu sia-sia sebab suaraku serta-merta sirna dilahap keheningan. 

Ini kejam. setidaknya biarkan aku memejamkan mataku. Biarkan aku mati dalam artian yang sesungguhnya. Oh, dalam situasi ini, aku teringat pada Tuhan. Aku memuji nama-Nya sebanyak yang kumampu, aku berdoa pada-Nya melalui tatapan mataku yang tetap hidup dalam tubuh yang mati. Aku berdoa, berdoa setengah mati. 

Siluet itu, ia tertawa, suaranya menggelegar dan tubuhku semakin mati dibuatnya. Aku bertanya-tanya, alibi apa yang ia pegang hingga membabi buta seperti ini di hadapanku. Dan satu-satunya hal bernilai yang aku sadari selama ini hanyalah satu, diriku. Namun, aku tak merasakan hasrat buas dalam napasnya untuk menjarah diriku, tak ada sama sekali. Kematian tubuhku hanyalah permainan baginya. 

Oh Tuhan, dalam kondisi ini akhirnya aku tahu bagaimana rasanya merindukan suatu mukjizat dari tangan-Mu. Aku pun tahu rasanya perasaan orang-orang yang mempertanyakan eksistensi Tuhan di saat-saat krisis. Namun, aku tak sampai mempertanyakan eksistensi Tuhan. Maksudku, harus senaif itukah diriku? Tuhan selalu punya kiat-kiat yang jauh dari ancangan budi sempit manusia. Lagi pula kita sudah diberikan akal oleh tuhan dan kurasa itu cukup untuk melakoni hidup.

Tak kusangka, lamunanku memberikan sececah kegetiran baginya. Tak ada lagi suara tawa yang menggelegar, suara kepuasan, ataupun suara kekejaman. Yang kutangkap sekarang hanyalah pekikan kekesalan sebab mataku hanya mematung, tak merefleksikan sedikit pun emosi yang ia dambakan. 

Alhasil, kini aku tahu kunci mimpi buruk ini. Ya, terkaanku telak. Ia sekedar hendak bergurau dan letupan emosiku adalah kenikmatan baginya. Ia hanya ingin emosi yang meletup, sehingga ia dapat tertawa dan menyangka bahwa ia bahagia. Bukankah ia lebih naif? Kebahagian atas penderitaan tak akan pernah kekal sebab tak ada satu pun penderitaan yang kekal. 

Dan lagi-lagi aku tepat. Tuhan selalu punya taktik yang jauh dari ancangan budi sempit manusia. Dalam situasi ini tanpa aku sadari, tenggelam dalam mantik tentang Tuhan malah meluputkanku dari keserakahan dan intensinya tuk bahagia. 

 

Aku adalah segala hal yang aku sukai dan aku pun adalah segala hal yang tak aku sukai. 

Mari berkenalan, aku adalah genre musik favoritku, aku pun adalah lagu-lagu favoritku. Aku adalah Silent Cry, aku adalah The View, aku adalah Miroh dan yah, masih banyak aku yang lain yang tak perlu aku tuangkan seluruhnya ke dalam piring tulisan ini. Apa kau tertarik untuk mengetahui aku yang lain yang belum sempat aku tuangkan itu? Jika ya, kemarilah, mari kita bersalaman dan duduk bersama sejenak tak membicarakan basa basi. 

Aku adalah teman-temanku. Aku adalah buku-bukuku, Kitchen, The Alchemist, juga The Miracles of the Namiya General Store. Aku adalah catatan dalam diaryku. Pada dasarnya, aku telah membelah diriku untuk semua yang berotasi pada diriku. Aku adalah potongan-potongan yang tersebar pada setiap pilihan yang aku ambil. Dan aku adalah semesta hidupku. 

Beberapa orang di luar bertanya tentang bagaimana dengan identitas darah, sebab bagi mereka darah memiliki autentikasi, darah punya keistimewaan. Hmm, begini, terlepas dari keautentikasinya juga keistimewaannya, darah hanyalah darah. Darah hadir untuk kehidupan tidak untuk menjadi siapa diriku. Tak hanya itu, saat darah mulai mengairi tiap saraf tubuh dan membuka mata yang tertutup, di situ munculah pilihan, apakah kau ingin tetap hidup dengan autentikasi dan keistimewaan yang disediakan oleh darah ataukah kau meninggalkan dua hal itu. 

 


Warna dunia, kami melihatnya sebagai suatu teka-teki yang kehilangan jawaban. Kami, berjalan di atas dunia dengan kaki-kaki yang tersesat. Tak ada pertanyaan dan jawaban yang mengiringi langkah kami. Kami hanyalah langkah yang tersesat dan kehilangan jawaban. 

Warna-warna yang nampak dan dikenal hanyalah kasih Semesta atas wujudnya. Ia indah. Tak lebih. Kamilah yang melebihkan segalanya, padahal hakikat dari warna telah lama hilang terbawa arus waktu. 

Sebenarnya, tak sulit. Kami tahu bahwa jawaban itu dibawa oleh waktu, dan bisa saja ia disembunyikan di balik serat-serat pohon yang hampir lapuk, atau di balik bilik tembok-tembok gagah yang membosankan mata. Sekarang hanya tinggal usaha yang akan menjadi peta. Namun, di balik serat-serat pohon, juga bilik tembok-tembok, mungkinkah tak tersentuh oleh tipuan manipulatif? Sebab, di masa kini, hidup adalah tipuan. Segalanya adalah tipuan, bahkan kau dan jiwamu, aku dan jiwaku, juga semua orang di luar sana bersama jiwa mereka, hidup saling menipu satu sama lain. Tubuh dan jiwa telah saling menipu, tak ada lagi yang sanggup untuk saling percaya. Tinggal menunggu, hingga tiba waktunya Langit menipu dunia. 

Salam άγνοιαp

Pixabay @Jplenio

Kau mengenalkanku pada Semesta ini. Kau pula yang mengenalkanku pada perasaan-perasaan yang memberi rasa di tengah Semesta yang kaku ini. Namun, pada akhirnya kau menelantarkanku di tengah perasaan yang bingung akan jalannya. Juga perasaan terbakar oleh langkahmu yang menjadi dingin. 

Di awal waktu itu, kau menggenggam tanganku, membuatku melangkah, dan membuat mataku terpaku pada punggungmu. Perlahan-lahan, dalam langkah yang lelah, kau berhenti melangkah dan melepaskan tanganku. Aku berjalan sendiri di atas kaki kecilku. Tanpa penunjuk arah, aku tertatih dalam harapan kosong. 

Aku tak tahu, di waktu awal itu, apa kau mengaitkan jari kelingkingmu pada kelingkingku. Semesta telah menghapus rekam jejakmu di langit malam. Sehingga, saat aku menatap langit malam, hanya kekosongan yang aku dapatkan. Apakah kau telah bersekongkol dengan langit Semesta? 

Aku berjalan dalam kebingungan. Bahkan kakiku sekarat dalam langkah yang berat. Hari-hariku pun sudah tak lagi bertautan dengan perasaan. Sebab, kau tak pernah membiarkanku benar-benar mengenal perasaan. Dan pada akhirnya, perasaan itu tertinggal, aku melangkah menapaki perasaan, sehingga ia mati, menjadi busuk dan kembali dipanggil oleh Semesta. 

Ini buruk. Aku rasa aku tak perlu alasan untuk kembali mengenalmu. Walau kau tersadar dan datang menatapku atas kemenangan yang aku taklukkan. Seluruh diriku membeku di tengah panas dan dingin cerita yang aku lewati. Sosokmu yang aku kenali dulu telah naik ke langit malam. Tak lagi tinggal di sisiku. 

Selamat tinggal!



Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • Harapan di Taman Bunga
  • Untukmu, Berhentilah...
  • Reminisensi
  • Riwayat Manis; Ia dan Rembulan
  • Sebelum Semuanya Terlambat

Categories

  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Puisi
Diberdayakan oleh Blogger

Laporkan Penyalahgunaan

Search This Blog

Blog Archive

  • Maret 2025 (1)
  • Februari 2025 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Juni 2023 (1)
  • Mei 2023 (1)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • Oktober 2022 (1)
  • September 2022 (2)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juli 2022 (1)
  • Juni 2022 (3)
  • April 2022 (1)
  • Maret 2022 (1)
  • Februari 2022 (2)
  • Januari 2022 (1)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (1)
  • September 2021 (3)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (5)
  • Juni 2021 (5)
  • Mei 2021 (2)

Social Plugin

Home Contact Us About Us Privacy Policy

Tentang Saya

Foto saya
Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang awam dalam banyak hal. Tidak sedang mengajari siapa-siapa. Hanya menumpahkan apa yang tak sempat diceritakan
Lihat profil lengkapku

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Translate

Copyright © Ichadiass. Designed by OddThemes