Ichadiass
Ichadiass
  • Home
  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Sitemap
  • Contact Us

Pixabay @nekoroom

Aku melihatnya tergeletak dalam kebekuan. Jendela di wajahnya terkunci rapat. Faktanya ia lupa dimana kunci jendela itu ditempatkan. Ia buta dalam artian sesungguhnya juga dalam artian yang dibuat-buat. Suaranya tertelan, masuk jauh ke dalam jurang pencernaan, tergeletak membusuk di saluran pembuangan. Dan napasnya membeku dalam ruang yang menjadi hampa. 

Fokusku berpindah-pindah pada mereka yang mengelilingi dirinya yang tengah tergeletak itu. Cahaya di wajah mereka telah padam. Beberapa dari mereka berdiri di sudut sambil menunduk, ada beberapa yang menatap lurus tanpa fokus, dan beberapa lagi, cukup sulit untukku jelaskan. Dan satu yang serempak di antara mereka: ada lautan di sudut mata mereka. 

Kami di ruangan ini tenggelam dalam helaan napas panjang dan berat, sesegukan, ratapan, juga penyesalan. Hawa di ruang itu terlampau pekat, kelabu. Aku tahu aku tak bisa melihat itu, tapi aku merasakan timpaannya yang berat menghantap setiap kepala dalam ruang itu. Termaksud diriku. 

Tanpa logika, ini adalah bencana terbesar dalam hidup. Dalam kuasa ego, mereka tersakiti. Ada yang bergumam, "Aku akan menggendongmu sepanjang hidupku, biarkan aku mengairi air didih di atas tubuh bekunya," oh, gumaman itu, entahlah, aku takut berkomentar.

Dalam posisi ini aku tahu segalanya, maksudku, aku tahu ini menyakitkan, tapi tolong jangan lupakan logika. Tariklah napas dalam-dalam dan buang napas itu bersama toxic-toxic yang mengendap dalam kepala.  Cobalah untuk berdiri di atas kakinya yang terbujur itu, aku yakin kalian akan tahu, ini adalah yang ia nanti-nantikan selama ini. Di atas kakinya ini adalah kedamaian. 

Bagaimana bisa mereka menginginkannya tetap terbujur beku di atas kasur itu hanya demi pemenuhan ego? Sedang ia berteriak kosong dalam hatinya. Ia menangis dalam kesendirian di hatinya. Ia sakit dalam kesakitan yang terpuruk di seluruh napasnya. Ia menderita  dalam kesunyian. Dan mereka menutup mata untuk fakta itu. Mereka menjadi tuli, buta, juga bisu demi ego yang ingin dimanja. 


Coba berikan sedikit ruang untuk logika dalam ruang waktu ini. Aku yakin bahwa mereka akan mengangguk-angguk, ini bukanlah bencana besar. Ini hanyalah proses kehidupan. Semua orang di luar sana juga melewati saat-saat seperti ini. Bukankah dalam ajaran Tuhan untuk mencapai kedamaian yang tertinggi, maka kita terlebih dahulu harus meninggalkan hingar bingar dunia? Lantas apa yang mereka khawatirkan? Ini jalan yang sudah Tuhan tentukan, tak bisa diubah barang sedikitpun. 


Pixabay @free-photos

Aku mencari cari dalam kegelapan yang pekat, satu sosok yang kudamba. Ia menghilang begitu saja dari radarku. Ah, tidak tidak, biarku perbaiki kata-kataku, ada beberapa kemungkinan, dan dua yang mendominasi yakni ia menghilang atau terhalau. Kepala-kepala di luar sana dalam gambaran umum punya catatan agung tentang sosok itu. Ia adalah pahlawan dalam catatan sejarah lingkup pribadi. 


Kau tahu, mereka, kepala-kepala itu cukup sering membuka suara dengan angkuh, melontarkan beribu kombinasi abjad tentang ia, sosok yang kudamba. Saat pekikan suara mereka memenuhi atmosfer, aku berusaha merapat masuk ke dalam sudut hati, memalingkan wajah pada jendela di dalam sana. Aku meringkuk. Mataku berkedip dalam jumlah anomali. Pada ruang bawah tanah hatiku, aku merasakan perang emosi berkecamuk penuh gairah. Oh, aku mendambakan sosok itu, tapi mataku tak punya kompas yang berkerja dalam kegelapan yang pekat. 


Ada saat-saat ketika aku menemukan diriku tergeletak tak berdaya dalam botol harapan yang kosong. Pada saat itu, aku membelah diri. Satu diriku akan meloncat keluar dari dalam hatiku, lalu berputar diantara kepala-kepala yang bersuara dalam realita. Aku menampilkan diriku dengan harap ada ia yang lain, milik kepala-kepala yang bersuara itu yang mau memegang tanganku, memintaku tuk turut menjadikan ia sebagai pahlawan dalam catatan agung milikku. Tapi itu terlalu sia-sia, aku kehilangan akal sehat untuk sesaat dalam pencarian tanpa garis petunjuk. 


Ia, entahlah, yang kutahu oksigen yang ku hirup telah bercampur aduk dengan jejaknya sebelum ia benar-benar hilang. Aku selalu mengatakan bahwa aku masih baik-baik saja tanpa ia, sosok pahlawan atau apapun itu. Alih-alih mengharapkan kehadirannya, aku bisa mengubah sedikit langkahku sehingga aku menjadi pahlawan bagi diriku sendiri. Sayangnya, sekeras apapun aku berteriak dalam kepalaku, mengucapkan mantra-mantra penguatan hati, aku tak bisa menyangkal bahwa aku masih sekarat. Saat aku menatap bayangan hatiku di balik cermin, aku mendapati diriku tengah sekarat dalam kesakitan dan kesendirian. 


Dalam hatiku, air mataku hampir memenuhi setiap sudut ruang. Bahkan, genangan air mata itu hampir membuat diriku mati tenggelam. Aku bertanya-tanya kenapa aku tak memilikinya? Apa ini ada hubungannya dengan garis tanganku? Ataukah memang ia yang sengaja membersikan pundaknya  lantas menaruh namaku di bawah sepatunya? Aku ingin sekali menanyakan pertanyaan itu pada Semesta, tapi aku mengurungkan niatku. Maksudku, aku bahkan tak mampu menemukannya, sosok yang kudambakan itu, lantas bagaimana bisa aku akan menemukan Semesta?


 

Pixabay @ogmentry

Segalanya datang dan pergi. Saling mengisi kekosongan dalam ruang. Meninggalkanku sendiri berdiri di ujung jalan tanpa ruang. Aku menerawang jauh menembus langit, tapi mataku tak mampu. Kilau sinar mentari menutup mataku. Aku hanya tinggal seorang, masih berdiri di ujung jalan tanpa ruang melihat keadaan berganti mengucap selamat tinggal dan selamat jalan. 

Kepala-kepala yang melintas di segala arah mata angin menepuk bahuku, tersenyum, tertawa, mencubit pipiku, lalu pergi begitu saja, tak ada yang tersisa kecuali tubuhku yang berdiri mematung di ujung jalan. Mataku menerawang, masih dalam usaha yang sia-sia. Kepala-kepala itu, mereka membuatku sesak. Dadaku seperti dibenturkan oleh tangan mereka yang menepuk dan mencubit, juga bibir yang tertawa dan tersenyum. Semua untuk mereka. Ketulusan murni yang keluar dari hati untuk kebesaran hati mereka sendiri. Bukan untukku.  

Aku berdiri di ujung jalan mengamati kepala-kepala yang bergantian mengisi ruang itu. Aku menggigil di bawah terpaan sinar mentari, masih berdiri di ujung jalan tak punya ruang. 


 

Pixabay @358611

Aku melihatnya, ia ada di depanku. Ia berlalu mengikuti gerak mataku. Tak ada jarak yang memisahkan, semua terpotong oleh kehadirannya, hingga di ujung napasku. 


Aku menerka-nerka, apakah yang akan terjadi jika ia tak begitu dekat denganku. kau tahu, aku menerka-nerka akan hal itu bukan tanpa sebab. Aku hanya ingin tahu, apakah perasaan sesak itu tetap ada, layaknya kebutuhan hidupku akan oksigen. Ia terlalu dekat dalam hidupku. Itu berakibat fatal untuk emosi di sekelilingku. Aku rasa segalanya dalam kisah hakikat memiliki karakteristik jarak tertentu, dan itu selalu berhenti beberapa centi tepat di depan tubuh tiap-tiap kepala. Segalanya memiliki ruang sekecil apapun itu. Tak ada yang benar-benar mendekap hingga merasuk saat kau membuka ataupun menutup mata itu. Ini membuatku berpikir akan batasan, bukankah benar bahwa kita hidup dalam batasan-batasan yang telah ditentukan, entah itu oleh tangan yang tak terlihat atau tangan-tangan yang sengaja bersembunyi? Jika tidak, mungkin segalanya turut menjadi bejat dalam artian yang mereka percaya. 


Ah, ini sudah berada di puncak batasan yang bisaku lambaikan senyuman, keberadaannya yang mengambil tempat tepat di depan mataku membuatku buta pada sekeliling di balik punggungnya. Aku tak dapat melihat apapun kecuali ia seorang. Paparan dirinya yang berlebihan membuat syaraf-syarafku keracunan. Pikiranku mati tepat di depannya. Aku menangis, tapi air mata telah lenyap dalam tubuh yang dehidrasi. Ia kini menjadi pusat kehidupanku yang tak pernah sekalipunku inginkan. Jauh di kedalaman  sanubari yang tak dapat digerakkan, aku mendapat cercaan tak berujung. 


"bodoh, kau bodoh, kau hanya perlu menggerakkan tanganmu menghempas si pembuat ulah itu, ia hanya sosok figuran tak berarti. Tangan dan kakimu dibebaskan dari kebodohannya, mengapa kau terus-terusan mengambil kebodohan miliknya dan menyisakan kesempatan itu. Kau menderita bukan sebab mereka di sekitarmu yang terlampau bejat, tapi kau yang terlampau bodoh, kau menutup mata lantas merengek mengatakan kau menjadi buta, padahal kau hanya perlu membuka matamu, huh, dasar, mengapa aku bisa terperangkap dalam sanubari seorang idiot sepertimu?"


 
Pixabay @free-photos

Aku menemukan diriku terhempas terlampau jauh di belakang sana. Aku juga terperangkap. Sarang laba-laba di sekelilingku melemahkan setiap sendi di tubuhku. Jika malam tiba, saat aku menutup mata, aku menemukan gambaran hitam putih di kepalaku. Itu menjadi petunjuk bahwa aku semakin melemah. 

Waktu itu, pelan-pelan, juga tak sengaja, aku mengorek sebuah peti tua tempat penyimpanan pernak pernik masa lalu. Aku menemukan di dalamnya tergeletak beberapa lembar foto hitam putih penuh debu. Sebenarnya aku cukup bingung, untuk ukuran peti yang sebesar itu, dan setua itu, bagaimana bisa hanya berisi beberapa lembar foto tak berwarna penuh debu? Sayangnya, aku tak pernah menemukan jawaban dari rasa penasaranku itu. 

Walau hanya berisi beberapa lembar foto, rasa keingintahuanku tiba-tiba meningkat. Tanganku akhirnya bergerak mengikuti instruksi rasa ingin tahu yang bergelora. Satu persatu foto-foto itu kuambil. Aku memperhatikan, mengamati setiap foto dengan khusyu sambil memikirkan jalan cerita di balik setiap foto itu. Namun, ah, memikirkan jalan cerita di balik foto-foto itu cukup melemahkan diriku. 

Aku rasa aku tak sanggup. Itu foto hitam putih, tak ada satupun warna cerah yang dibekukan, dan fakta itu membuatku mual. Terlalu pekat, aku tak sanggup, lama-lama foto-foto hitam putih itu menghisap habis seluruh hitam di bola mataku. Sayangnya, aku terlambat menghentakkan kepalaku untuk berpikir. 

Segalanya kini menjadi tak seimbang, cerita-cerita diriku mulai bercampur aduk dengan cerita yang bersembunyi di balik tiap-tiap lembar foto hitam putih itu. Mataku hilang warna, meninggalkan warna putih pada kedua mataku, juga dunia yang kupandang. 


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda

POPULAR POSTS

  • Harapan di Taman Bunga
  • Untukmu, Berhentilah...
  • Reminisensi
  • Riwayat Manis; Ia dan Rembulan
  • Sebelum Semuanya Terlambat

Categories

  • Goresan Sebelah Mata
  • Jejak Cupid
  • Kilas Balik dalam Langkah
  • Puisi
Diberdayakan oleh Blogger

Laporkan Penyalahgunaan

Search This Blog

Blog Archive

  • Maret 2025 (1)
  • Februari 2025 (1)
  • Maret 2024 (1)
  • Februari 2024 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (1)
  • Agustus 2023 (1)
  • Juli 2023 (1)
  • Juni 2023 (1)
  • Mei 2023 (1)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Desember 2022 (1)
  • November 2022 (1)
  • Oktober 2022 (1)
  • September 2022 (2)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juli 2022 (1)
  • Juni 2022 (3)
  • April 2022 (1)
  • Maret 2022 (1)
  • Februari 2022 (2)
  • Januari 2022 (1)
  • November 2021 (1)
  • Oktober 2021 (1)
  • September 2021 (3)
  • Agustus 2021 (2)
  • Juli 2021 (5)
  • Juni 2021 (5)
  • Mei 2021 (2)

Social Plugin

Home Contact Us About Us Privacy Policy

Tentang Saya

Foto saya
Bukan siapa-siapa, hanya seseorang yang awam dalam banyak hal. Tidak sedang mengajari siapa-siapa. Hanya menumpahkan apa yang tak sempat diceritakan
Lihat profil lengkapku

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *

Translate

Copyright © Ichadiass. Designed by OddThemes