![]() |
Pixabay @cdd20 |
Satu kehidupan dalam kematian telah direnggut. Sosoknya berjalan. Lambat. Perlahan. Sesekali berhenti, tunduk dan bersujud. Kehidupan dan kematian tinggal dalam batas abu.
Satu harapan tumbuh membayangi bayang maya. Harapan. Kosong. Antara hidup dan mati, berwajah biru dalam hening abu-abu.
Sesekali menghadap pada langit memohon pelukan. Hangat. Bakar kesunyian, tinggal bara sangsi. Mari lanjut kalau tak ada pelukan. Semesta tengah bisu atau telinga tengah menutup diri dari kebisingan.
Jadi datang lagi sepi. Tinggal diri, semu. Mungkin begitu juga di luar sana. Mereka hanya lincah menutup kekosongan. Hampa. Mereka jua. Setidaknya juang harap tak kosong.
Kendati cerita yang terjebak dalam garis kerutan, mereka ikut menua. Harap, hidup, mati, hak setengah jiwa. Mereka hitam dan putih.
Hanya kehangatan, melingkupi jiwa. Satu harapan yang tumbuh membayangi bayang maya. Berwajah biru bertopeng darah. Hidup tinggal satu, mati pun begitu. Harap dan hangat dalam secangkir teh di hari petang.
Sosoknya berjalan. Satu kehidupan dalam kematian yang direnggut. Tak lagi tunduk dan bersujud. Cerita yang terjebak dalam kerutan wajah membebaskan diri. Kembali muda. Napas kini sedikit mudah. Kehidupan dan kematian masih dalam batas abu.
Harap, hidup, dan mati berpencar dalam batas hijau. Belakangan batas kuning masuk ke dalam alur. Lantas sunyi jadi tak berkawan hampa. Napas semakin asik, jadi langkah berkawan waktu. Perlahan, tapi tak lambat.
Kenyataan menjadi tegas di tiap torehan langkah. Perlahan-lahan. Waktu tak melarikan diri. Ritme hidup tak ada yang sama. Pada wajah biru atau hijau, sendu atau teduh, ritme hidup dan langkah adalah cerita dan waktu.