Kau mengenalkanku pada Semesta ini. Kau pula yang mengenalkanku pada perasaan-perasaan yang memberi rasa di tengah Semesta yang kaku ini. Namun, pada akhirnya kau menelantarkanku di tengah perasaan yang bingung akan jalannya. Juga perasaan terbakar oleh langkahmu yang menjadi dingin.
Di awal waktu itu, kau menggenggam tanganku, membuatku melangkah, dan membuat mataku terpaku pada punggungmu. Perlahan-lahan, dalam langkah yang lelah, kau berhenti melangkah dan melepaskan tanganku. Aku berjalan sendiri di atas kaki kecilku. Tanpa penunjuk arah, aku tertatih dalam harapan kosong.
Aku tak tahu, di waktu awal itu, apa kau mengaitkan jari kelingkingmu pada kelingkingku. Semesta telah menghapus rekam jejakmu di langit malam. Sehingga, saat aku menatap langit malam, hanya kekosongan yang aku dapatkan. Apakah kau telah bersekongkol dengan langit Semesta?
Aku berjalan dalam kebingungan. Bahkan kakiku sekarat dalam langkah yang berat. Hari-hariku pun sudah tak lagi bertautan dengan perasaan. Sebab, kau tak pernah membiarkanku benar-benar mengenal perasaan. Dan pada akhirnya, perasaan itu tertinggal, aku melangkah menapaki perasaan, sehingga ia mati, menjadi busuk dan kembali dipanggil oleh Semesta.
Ini buruk. Aku rasa aku tak perlu alasan untuk kembali mengenalmu. Walau kau tersadar dan datang menatapku atas kemenangan yang aku taklukkan. Seluruh diriku membeku di tengah panas dan dingin cerita yang aku lewati. Sosokmu yang aku kenali dulu telah naik ke langit malam. Tak lagi tinggal di sisiku.
Selamat tinggal!